Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Buku Interpreter of Maladies (dok. Wahid Kurniawan)

Sial betul rasanya, mengapa baru beberapa hari yang lalu saya membaca karya Jhumpa Lahiri ini? Padahal, namanya sudah cukup akrab bagi saya sebab tak sedikit tulisan maupun wawancara penulis lain yang mengatakan, kalau mereka mengagumi karya-karyanya.

Jhumpa Lahiri, kata mereka, setidaknya adalah salah satu penulis cerita pendek dengan karya-karya yang memukau. Memukau seperti apa? Berbulan-bulan saya tak mengetahui dengan pasti bagaimana wujud keterpukauan tersebut. Sampai beberapa hari yang lalu, saya membaca salah satu karya fenomenalnya. Bukan saja merasakan keterpukauan lagi, saya bahkan dibuat menahan napas atas kebrilianan buku tersebut. Tidak lain, buku yang dimaksud adalah buku ini, Interpreter of Maladies.  

Atas kebrilianan itu lah, saya merasa sangat perlu menulis ulasan ini. Begitulah, efek dari menemukan buku yang luar biasa bagus bagi saya ya begini. Tidak peduli walaupun ini bukan buku terbitan terbaru, tapi saya kudu mengulasnya.  

Nah, jadi, buku ini sendiri sudah diterbitkan sejak bertahun-tahun yang lampau. Aslinya, Jhumpa Lahiri menerbitkannya pada tahun 1999, dan satu tahun setelahnya, buku ini diganjar Pulitzer Prize! Tidak tanggung-tanggung, karya awal Jhumpa Lahiri ini keluar sebagai pemenang. Sementara itu, terjemahannya sendiri terbit tahun 2006, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, dan diterjemahkan dengan sangat nyaman oleh Gita Yuliana K. Mendapati usia buku yang terbilang lama—maaf saya ulang lagi, saya benar-benar menyesal baru membacanya sekarang. Sial, ke mana saja saya selama ini?

Baiklah, mari lupakan sejenak penyesalan itu.  Yang terpenting, saya sudah menamatkan buku ini, dan sekarang mari kita sedikit menelisiknya. Di buku ini, saya langsung menyadari bahwa karya-karya Jhumpa Lahiri sungguh tidak bertendensi untuk membuat prosa dengan bahasa yang rumit dan diindah-indahkan. Bahkan, dia tampak sebisa mungkin menarasikannya dengan sedemikian sederhana.

Bahasa dalam narasi Jhumpa Lahiri tampak digunakan seperlunya saja. Dia bernarasi dengan keajekkan yang stabil. Melankolis di beberapa bagian. Namun, dari kombinasi semua itulah, cerpen-cerpen di buku ini terkesan mengalir dan enak sekali diikuti. Kesederhanaan ini pun diakui oleh Lahiri sendiri.

“Saya senang menggunakan bahasa yang sederhana,” ujar Lahiri dalam wawancara dengan Isaac Chotiner untuk majalah The Atlantic.

Bagi Lahiri, bila dihadapkan pada dua unsur penulisan, yakni bentuk dan fungsi. Lahiri bukan termasuk penulis yang terfokus hanya pada bentuk. Lebih jauh lagi, dia mengaku, “Saya tidak mau duduk-duduk santai sambil menghasilkan kalimat-kalimat yang indah.” (fiksilotus.com/2010/04/06)

Prosa yang sederhana dan tak sombong ini melekat benar dalam karya-karyanya. Setidaknya, kesan ini bisa didapati dari sembilan cerpen yang ada di buku ini. Lahiri, dengan kesederhanaan kalimatnya, ditambah cerpen-cerpen tersebut kerap berpremis biasa saja, justru dapat membuat pengalaman membaca yang mengasyikkan.  

Itu soal tampilannya. Lalu, bagaimana dengan ceritanya sendiri? Bisa dibilang, dari tema keseluruhan cerpen, Lahiri setia dengan kisah-kisah para imigran India di Eropa atau Amerika. Dari tema-tema tersebut, Lahiri mengelaborasi konflik yang ada berkisah di ranah yang menyinggung persoalan keluarga, kebangsaan, dan budaya mereka.

Di cerpen pertama, “Masalah Sementara”, kita mendapati pasangan Shoba dan Shukumar yang gara-gara pemadaman listrik selama satu jam tiap malamnya, mereka jadi membuka diri atas kesalahan-kesalahan di masa lalu. Terutama, beberapa hal yang berkaitan dengan kematian bayi mereka. Kisah ini pun jadi sedemikian subtilnya. Sebab, Lahiri amat berhasil membawakan tokoh-tokohnya dalam pusaran emosi yang tak diduga-duga.

Di balik ketenangan gaya berceritanya, ia menghadirkan letupan-letupan yang tampal berarti, dan itu berakhir dengan sebuah kesan yang dalam. Pasangan itu jadi lebih memahami satu sama lain. Melalui segenap peristiwa kecil di kala matinya lampu rumah, keeratan melingkupi mereka. Sampai kemudian, mereka menangis bersama, menangis hal-hal yang kini mereka ketahui (hlm. 38).

Berikutnya, di cerpen kedua, “Ketika Mr. Pirzada Mampir Makan Malam”, kita dipertemukan dengan narator anak kecil yang mengisahkan hubungan keluarganya dengan seorang pria bernama Mr. Pirzada. Dikisahkan, pada musim gugur tahun 1971, Mr. Pirzada datang dari Dacca, sebuah kota yang kini Bangladesh, tetapi dulu kota itu masaih bagian Pakistan. Saat itu, ia tengah berada di Amerika untuk menyelesaikan beasiswanya.

Di Dacca, ia meninggalkan istri dan tujuh orang putri. Dari penuturan si bocah itu, Lilia, pembaca lantas diajak membayangkan kegetiran perang Pakistan-Bangladesh-India berikut nasib para warganya. Lahiri berhasil menyoroti dampak perang di dalam lini paling dekat: Keluarga. Cerpen ini sarat akan renungan betapa tersiksanya batin seorang ayah yang meninggalkan keluarganya.

Lalu yang ketiga, terdapat cerpen yang juga dijadikan judul buku ini, “Penerjemah Luka”. Di cerpen ini, Lahiri mengisahkan seorang pemandu wisata bernama Mr. Kapasi yang mengantar pasangan Das berikut tiga anak mereka untuk berjalan-jalan. Perjalanan yang biasanya ia anggap biasa saja tersebut, justru mengantarkan Mr. Kapasi dalam tamasya singkat yang berkesan. Pasangan suami-istri Das bukan turis biasa.

Mereka sama sepertinya, berdarah India, tetapi lahir dan besar di Amerika. Dari latar belakang tersebut, Mr. Kapasi lantas mengetahui keunikan, bahkan keganjilan keluarga tersebut. Mrs. Das yang menceritakan sendiri padanya setelah Mr. Kapasi menyeletuk kalau ia punya pekerjaan sampingan sebagai penerjemah di sebuah rumah sakit. Tak disangka, pekerjaan sampingan Mr. Kapasi itu malah mengundang perhatian Mrs. Das. Perempuan itu menganggap pekerjaan Mr. Kapasi romantis. 

Di dalam cerpen, Lahiri memakai judul tersebut sebagai gambaran pekerjaan Mr. Kapasi secara harfiah: Menerjemahkan luka. Luka di sini mengacu pada keluhan para pasien yang tak dipahami si dokter sebab dokter tersebut tidak bisa bahasa Gujarat. Selayang pandang, Mr. Kapasi menganggap pekerjaannya sebagai penerjemah sungguh biasa saja, bahkan ia tak pernah mendapat kekaguman akan pentingnya pekerjaan itu. Namun, tidak dengan Mrs. Das. Perempuan itu tertarik dan seolah menemukan orang yang tepat untuk menceritakan rahasianya.

Dari situ, Mr. Kapasi seolah mendapat tiket untuk masuk dalam pusaran intrik pasangan Das. Keberadaan Mrs. Das pun menarik perhatiannya. Diam-diam, ia merasakan kecocokkan diri dengan perempuan itu setelah bertukar kisah satu sama lain. Tapi, bukan Lahiri namanya bila membiarkan kisah berujung manis dan membahagiakan. Sama seperti kebanyakan cerpen lainnya, Lahiri memungkas cerpen ini dengan kejadian yang nahas. Dan, pungkasannya ini memberi kesan yang berumur panjang di dalam kepala.

Kesan serupa pun mengekor di cerpen-cerpen keempat dan seterusnya. Di cerpen “Durwan Sejati”, pembaca diajak mengintip kehidupan seorang perempuan tua yang menjadi tukang sapu di sebuah gedung. Namanya Boori Ma. Kisah ini menghadirkan kelucuan dan kegetiran di saat yang bersamaan. Lucu, sebab Boori Ma tampak sering berbohong. Getir, sebab nasibnya tampak selalu tak mujur.

Kemudian, di cerpen “Seksi”, pembaca diajak menengok gejolak batin seorang perempuan yang terlibat perselingkuhan. Di cerpen ini, Lahiri seolah menghadirkan perspektif lain mengenai hubungan terlarang tersebut. Berikutnya, di cerpen “Rumah Mrs. Sen”, Lahiri lagi-lagi membicarakan keluarga.

Di cerpen ini, ia menyoroti keluarga Sen dari kacamata bocah bernama Eliot. Walaupun bukan langsung dari narator si bocah, Lahiri menjadikan anak itu sentral dari beragam konflik dan kejadian yang berkaitan dengan keluarga tersebut.

Belum selesai sampai di situ, Lahiri masih mempunyai tiga cerpen lagi, yakni “Rumah yang Diberkati” yang mengisahkan kebingungan pasangan India di rumah baru mereka sebab rumah itu penuh dengan ornamen Kristen; lalu “Pengobatan Bibi Haldar”, yang menyoroti kehidupan perempuan terbelakang yang tak kunjung memiliki pasangan; dan terakhir, Lahiri menghadirkan kisah yang hangat nan menyentuh tentang pemuda India yang pindah ke Amerika dalam cerpen “Benua Ketiga dan Terakhir.”

Secara isi, cerpen terakhir ini seolah menjadi akumulasi dari kesan-kesan yang menyertai beragam cerpen sebelumnya. Lahiri menutup buku ini dengan sebuah cerpen yang lebih memberi makna dalam sebuah hubungan, baik dengan orang asing maupun orang terdekat sekalipun.

Begitulah, dengan berakhirnya buku ini, saya seperti merasakan dua hal yang saling berlawanan: Sesal dan syukur. Menyesal, akibat alasan yang saya kemukakan di awal tulisan ini. Dan bersyukur, sebab akhirnya, saya telah membaca buku yang sungguh brilian.

Sungguh, menyalami prosa-prosa Lahiri ini adalah pengalaman asyik sekaligus subtil. Sebab di balik kesederhanannya, Lahiri menyimpan keistimewaan yang kerap dilupakan oleh pengarang lain yang condong bermain-main di dalam teknik penceritaan. Itulah Lahiri, sosoknya seperti tengah mengajak pembaca duduk nyaman, sementara dia dengan tenang bercerita.