Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | ulfriandi setiawan
Ilustrasi pilkada serentak 2020. [Suara.com/Eko Faizin]

Saat ini kita baru saja melewati suatu perhelatan yang cukup besar dan dianggap penting di beberapa daerah yakni Pilkada Serentak 2020, yang mana Pilkada merupakan sebuah kegiatan rutin 5 tahun sekali di berbagai daerah guna memperbarui atau memilih kembali kepala daerah di Indonesia. Pemilihan kepala daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat.

Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah, yang mana Kepala daerah dan wakil kepala daerah uang dimaksud disini mencakup Gubernur dan Wakil Gubernur untuk daerah Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten, dan Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota. Maka dari itu, pada tahun 2020 Pilkada digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021.

Pelaksanaan pemungutan suara yang telah diselenggarakan pada 9 Desember 2020 lalu dilaksanakan di 270 wilayah di Indonesia yang meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota. Pelaksanaan Pilkada serentak tersebut bisa dikatakan sukses karena berhasil terselenggara dan juga bisa dikatakan gagal karena diselenggarakan ditengah Pandemi Covid-19 yang menyebabkan kasus positif yang semakin bertambah.

Melihat kondisi tersebut, Pelaksanaan Pilkada serentak di tahun 2020 ini juga diiringi sejumlah kontroversi. Hal ini dikarenakan pada awal hingga penghujung tahun 2020 ini dunia digemparkan dengan wabah pandemi Covid-19 yang tak terkecuali Indonesia pula terkena dampaknya. Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak terhadap sektor kesehatan saja.

Akan tetapi, terdapat banyak sektor lain lain yang terkena imbasnya seperti sektpr ekonomi, pendidikan, sosial, politik, budaya maupun sektor pemerintahan. Secara khusus dalam bidang politik, pandemi Covid-19 telah mengakibatkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 mengalami penundaan. Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyepakati untuk menunda Pilkada 2020 sampai bulan Desember 2020 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2020.

Keputusan untuk tetap menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat, terutama di kalangan pakar dan akademisi. Keputusan untuk melaksanakan Pilkada di bulan Desember 2020 dipandang tidak realistis dan penuh dengan risiko karena jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat secara nasional.

Sehubungan dengan hal tersebut Pilkada serentak 2020 diprediksi akan mengalami degradasi kualitas yang disebabkan oleh turunnya angka partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat diprediksi akan menurun sebagai dampak pandemi yang menimbulkan kekhawatiran dalam diri masyarakat apabila ingin ikut berpartisipasi dalam setiap tahapan atau proses Pilkada, termasuk dalam menyalurkan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada hari pelaksanaan Pilkada Serentak.

Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 sangat penting karena merupakan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Pasal 201 Ayat 6. Adanya Pilkada Serentak merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi yang dianut, yaitu sarana untuk regenerasi kepemimpinan secara adil, bijaksana, serta sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam konstitusi.

Namun hingga 15 September 2020, terdapat penambahan 3.507 kasus baru sehingga mencapai total 225.030 kasus dengan korban jiwa mencapai 8.965 jiwa. Bahkan banyak pihak mengkhawatirkan apabila Pilkada tetap diselenggarakan  pada bulan Desember 2020, justru akan menjadi permasalahan baru karena berpotensi menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Hal ini akan mendorong terjadinya serangan gelombang kedua wabah Covid-19 di Indonesia.

Dengan ditemukannya 60 orang bakal calon kepala daerah yang positif terpapar Covid-19 telah menjadi indikasi awal. Calon kepala daerah yang terpapar ini berasal dari 21 provinsi dari 32 provinsi yang akan menggelar Pilkada serentak. Selain itu, tahapan Pilkada mulai dari pendaftaran calon telah menyebabkan terjadinya kerumunan massa, ditambah lagi dengan bakal calon yang seringkali mengabaikan protokol kesehatan.

Ratusan bakal calon kepala daerah terindikasi melanggar aturan protokol kesehatan Covid-19, seperti membawa massa, berkumpul, dan melakukan arak-arakan saat mendaftar ke KPU. Karena hal itulah banyak pihak yang menganggap Pilkada serentak pada tahun 2020 ini menimbulkan banyak kontroversi.

Ketimpangan tersebut ialah antara kesehatan masyarakat yang semakin terancam dengan tingginya kepentingan politik di masa pandemi ini. Namun jika Pilkada ditunda kembali, maka resikonya adalah KPU dan penyelenggara pemilu lainnya harus menyusun regulasi, mekanisme, dan persiapan dari awal lagi.

KPU membutuhkan dasar hukum yang pasti dalam bertindak, sehingga membuat proses akan semakin lama. Padahal, kehadiran para kepala daerah baru hasil pemilihan ini sangat dibutuhkan terutama terkait kebijakan dalam menyelesaikan krisis dan membantu masyarakat dari dampak Covid-19. Tidak hanya itu, apabila Pilkada kembali ditunda, maka perencanaan anggaran juga harus dimulai dari awal, sehingga anggaran yang diperlukan guna penyelenggaraan Pilkada Serentak semakin bertambah.

Namun, dengan banyaknya Pro dan Kontra akan diselenggarakannya Pilkada itu sendiri, hal tersebut justru tidak membatalkan proses Pilkada yang diselenggarakan pada 9 Desember 2020 lalu, yang mana dalam proses Pilkada serentak tersebut dilakukan dengan protokol-protokol kesehatan Covid-19 yang terstandarisasi dengan baik dan dalam proses pemilihan juga bisa dikatakan tertib dengan selalu menjaga jarak didalam TPS.

Tapi ketertiban tersebut bertolak belakang dengan kegiatan diluar TPS, itu dikarenakan banyaknya masyarakat yang berbondong bonding merayakan kemenangan paslon terpilih dan cenderung tidak menjaga jarak dan menghiraukan protokol kesehatan yang berllaku hingga bertambahnya kasus Positif Covid-19.

Oleh: Ulfriandi Setiawan (Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang)

ulfriandi setiawan