Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)
evaluasi tata kelola desa

Lahirnya UU No 6 Tahun 2014 tentang desa memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi penyelenggaraan pemerintah desa. Regulasi tersebut memberikan kesempatan dan peluang yang sangat terbuka bagi penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan karakteristik dan potensi desa yang dimilikinya. Hal ini mengingat bahwa setiap desa memiliki karakteristik dan potensi yang beragam. Oleh karenanya di dalam pembangunan desa, penataan dan pengorganisasian desa serta menciptakan tata kelola paripurna bagi desa maka regulasi UU No 6 Tahun 2014 menjadi rujukan yang ideal bagi tata kelola desa. Selain itu regulasi ini digadang-gadang mampu membawa tata kelola desa menjadi lebih kuat, mandiri, demokratis, berkeadilan dan kesejahteraan. Tata kelola penyelenggaraan desa di Indonesia juga diarahkan sebagai stimulus dan katalisator agar ketimpangan desa dan kota tidak begitu besar. Tidak bisa dipungkiri jika selama ini kota yang selalu memainkan peranan dalam berbagai aspek sehingga desa didorong untuk partisipatif.

Menyoal aspek tata kelola desa sampai saat ini masih menjadi persoalan yang serius. Hal tersebut dikarenakan masih banyak desa di Indonesia di mana kinerja tata kelolanya sangat buruk. Padahal di sisi lain pemerintah pusat telah menggelontorkan dana desa yang selalu meningkat setiap tahunya. Dana yang dikucurkan pada 2015 lalu hanya mencapai 20, 47 Triliun. Namun jika kita amati berdasarkan rilis data dari Kementerian Keuangan maka tahun 2016 dana itu mencapai 44, 98 Triliun dan meningkat di tahun 2017 sebesar 60 Triliun. Sementara di tahun 2018 dana tersebut dikucurkan 60 Triliun dan meningkat kembali di tahun 2019 menjadi 70 triliun. Bahkan di tahun 2020 dana desa mencapai 72 triliun. Dana yang begitu besar seharusnya mampu memperbaiki kualitas kinerja tata kelola desa yang lebih serius. Namun realitas yang terjadi justru kualitas tata kelola desa di Indonesia masih memprihatinkan. Lantas buat apa dana desa tersebut sebenarnya?

Governance

Sungguh realitas yang harus diakui jika tata kelola desa masih jauh dari harapan. UU No 6 Tahun 2014 tentang desa nampaknya tidak cukup mampu menghasilkan tata kelola desa yang maju dan berkualitas. Dikutip dari CNN Indonesia per 12 Juni 2020 menyatakan jika Kemendes PTT mencatat masih ada sekitaran 21.000 desa di Indonesia yang masih tertinggal. Di mana kondisi ini didominasi pada wilayah Indonesia bagian timur. Data tersebut bisa dipastikan jauh lebih besar jika dilihat secara riil di lapangan. Hal ini mengingat masih minimnya inovasi desa dalam melaksanakan tata kelola desa di Indonesia. Rendahnya inovasi bagi tata kelola desa ini tentu turut berdampak pada indeks inovasi Indonesia secara global. Berdasarkan data GII (Global Inovation Index) sebagai lembaga pemeringkat inovasi negara-negara di dunia menempatkan Indonesia sebagai urutan ke-85 dari 131 negara di dunia. Capaian ini menjadi kebuntuan dan stagnasi inovasi Indonesia mengingat tahun 2019 Indonesia juga menempati urutan ke-85. Artinya Indonesia masih jalan ditempat dan tidak menunjukkan adanya gejala-gejala perbaikan yang lebih baik.

Jika dikomparasikan dengan negara tetangga Malaysia tentu Indonesia dalam aspek inovasi masih jauh kalah tertinggal. GII tahun 2019 menempatkan Malaysia pada urutan ke-35 tan di tahun 2020 menempatkan Malaysia pada urutan ke-33. Artinya ada peningkatan positif dari Malaysia walaupun tidak signifikan. Tentu ini sebagai potret bagi Indonesia bahwa dalam inovasi khususnya dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa harus dilakukan usaha keras dan menyeluruh. Tidaklah heran jika tata kelola desa di Indonesia masih jauh tertinggal karena indeks GII saja Indonesia masuk pada kategori peringkat bawah.  

SDM Pemerintah Desa

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh seorang Guru Besar Pemerintahan Desa dari Universitas Terbuka yakni Prof  Dr Hanif Nurcholis tahun 2019 menyampaikan jika perangkat desa di Indonesia secara mayoritas mereka tidak bekerja. Perangkat desa tugasnya hanya tukang tagih pajak, tukang buat surat keterangan dan tukang awasi proyek pembangunan pemerintah pusat. Temuan dari Guru Besar UT tersebut cukup melihat potret bagaimana dan sejauh apa tata kelola kinerja pemerintah desa bekerja. Banyak yang terjadi di lapangan tata kelola desa yang amburadul sehingga eksistensi pemerintah desa menolak tugas utama yang harus dikerjakan. Pemerintah Desa tugas utamanya bukan sebagai tukang tagih pajak, ataupun tukang administratif lainya. Namun lebih subtantif dari ini Pemerintah Desa harus mampu membawa institusi yang dikemudinya mampu menciptakan kemandirian masyarakat baik secara ekonomi, dan juga memberikan akses sosial, kesehatan, dan pendidikan lebih dekat. Bagaimana Pemerintah Desa membangun sebuah roda perekonomian desa agar masyarakat lebih mandiri dengan adanya peningkatan perekonomian. Misalnya dari sisi kesehatan bagaimana desa mampu menciptakan tata kelola kesehatan bagi masyarakat agar tercipta anak-anak desa yang sehat dan kuat karena akses kesehatan yang lengkap. Faktanya SDM pemerintah desa tidak menyadari tugas utama sebagai Pemerintah Desa.

Arah Tata Kelola

Pemerintah pusat harus melihat bahwa ada masalah serius terhadap tata kelola desa. Bahkan dalam hal dana desa saja masih banyak desa di Indonesia yang cenderung menggunakanya dalam arah pembangunan fisik (Phisyical development). Banyak desa yang berlomba-lomba dengan dana desa membangun jalan, jembatan, irigasi, gapura, dan lainya yang berbau pembangunan fisik. Namun mereka abai terhadap pembangunan non fisik. Padahal pembangunan non fisik juga memiliki peranan penting bagi kelangsungan kualitas tata kelola desa. Membangun fisik semata diibaratkan hanya kita membangun sebuah benteng pertahanan yang kuat dari luar namun tidak mempersiapkan pasukanya dari dalam. Akibatnya rapuhlah sistemya mampu dihantam oleh musuh. Begitu pula dengan tata kelola ini di mana aspek perimbangan pembangunan dalam tata kelola menjadi penting agar desa di Indonesia bisa tumbuh dengan pesat mengingat wacana digitalisasi desa akan digencarkan oleh pemerintah pusat.   

Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)