Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Trismayarni Elen, SE., M.Si
Ilustrasi mudik dengan sepeda motor [suara.com/Kurniawan Mas'ud]

Tanggal 4 April 2021 Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa peraturan Larangan Mudik Lebaran sudah bersifat final. Dengan alasan untuk mengurangi penyebaran dan penularan virus covid19.

Dengan aturan tersebut akan melukai hati sebagian besar masyarakat Indonesia yang sudah dengan antusias tinggi mendatangi lokasi-lokasi vaksin yang dilakukan selama ini.

Seperti di wilayah Jakarta, selain di RSUD pemberian vaksin juga dipusatkan di Gelora Bung Karno (GBK) dengan target pelaksanaan selama 2 bulan hingga akhir April 2021. Masyarakat umum yang sudah terdaftar (selain dari PNS dan pegawai BUMN), sampai rela antri untuk bisa mendapatkan vaksin. Dan dari komunitas-komunitas secara sukarela ikut mendaftarkan diri.

Bahkan banyak dari mereka yang tidak terlalu memikirkan dampak dan banyak informasi yang beredar bahwa terdapat kasus orang yang terdiagnosa positif covid-19 pasca vaksin bahkan ada beberapa kasus menyebabkan kematian. Harapannya adalah aktifitas bisa perlahan kembali normal, terutama di hari raya seperti Idul Fitri.

Psikologis Masyarakat Indonesia Dalam Mudik

Kondisi Covid-19 sudah mendera lebih dari 1 tahun. Tidak berbilang keterpurukan ekonomi yang dirasakan masyarakat kita. Sehingga masyarakat menganggap bahwa ketika bertemunya mereka dengan keluarga di kampung halaman terutama orangtua akan memberikan motivasi tersendiri.

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia meyakini bahwa silaturahmi akan mendatangkan rezeki dan memperpanjang umur. Bahkan di beberapa negara pun tradisi mudik masih melekat kuat.

Mudik dalam perspektif psikologi adalah bagian kebutuhan fisilogis manusia yang harus dipenuhi (Moslow) jika esensi mudik adalah untuk silaturahmi dan melepas rindu dengan keluarga dan sahabat. Selain itu  kebutuhan mudik sulit terkikis dan belum tergantikan oleh mudahnya alat komunikasi seperti: handphone, telegram, email, skype dan teleconference, (Arribathi & Aini, 2019).

Aturan Alternatif Pemerintah Selain Larangan Mudik

Jika kita melihat kondisi yang terjadi saat ini pun, sudah pasti jumlah pemudik tidak akan mencapai jumlah seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelum covid-19, yang bisa mencapai 20 juta orang, ke beberapa wilayah Indonesia, terutama pulau Jawa.

Karena, sejak pertengahan tahun 2020, sudah banyak perusahaan yang melakukan PHK besar-besaran terhadap karyawan, dan banyak karyawan tersebut yang sudah lebih dulu kembali ke kampung halamannya mengingat beratnya kehidupan ekonomi mereka jika bertahan di tempat mereka bekerja.

Untuk karyawan perusahaan swasta pun, banyak yang mendapatkan hanya gaji pokok tanpa tunjangan, atau hanya dibayar setengah dari jumlah gaji yang biasa mereka dapatkan mengingat banyak perusahaan yang menjalankan operasional perusahaan tidak penuh bahkan banyak yang terhenti.

Selain itu, banyak BUMN yang mengalami kerugian, beberapa instansi pemerintah yang tidak mencapai target kinerja, yang memungkinkan tidak adanya pembagian bonus atau tukin (tunjangan kinerja) bagi karyawan/pegawai.

Hal-hal ini bisa jadi menyebabkan banyak karyawan/pegawai berfikir ulang untuk melakukan perjalanan mudik lebaran. Maka, seharusnya pemerintah mencari jalan lain, tanpa harus mengeluarkan aturan Larangan Mudik Lebaran.

Seperti yang sudah pernah dilakukan yaitu merubah hari libur, yang membuat pegawai atau karyawan tidak mungkin mengambil cuti, dan sudah pasti akan lebih mengurangi jumlah pemudik.

Kemudian, pemerintah juga bisa menegaskan kepada operator tol terkhusus seperti tol Cikapali untuk segera memperbaiki jalan yang banyak dalam kondisi rusak dan berlubang. Karena akan menyebabkan kemacetan jalan yang cukup panjang dan hal ini justru akan menambah lelah dan membahayakan pengendara.

Cara lain yang mungkin bisa dilakukan pemerintah adalah membuat aturan ganjil genap pada tanggal-tanggal di arus mudik dan balik di gerbang masuk tol tersebut agar tidak terjadi penumpukan kendaraan, mengingat ketika terjadi lonjakan jumlah kendaraan maka rest area yang ada tidak akan mampu menampung pengemudi/penumpang yang ingin beristirahat.

Juga pengurangan kapasitas penumpang baik kereta api serta melalui udara, yang sudah dilakukan selama ini sangat berdampak pada pengurangan jumlah penumpang.

Mudik Akan Mendongkrak Perekonomian UMKM

Seperti kita ketahui, bahwa keuangan negara sudah dalam kondisi yang sangat berat, maka sejumlah bantuan sosial pun sudah mulai dikurangi. Maka butuh kekuatan bergerak dari aktifitas bisnis arus bawah seperti UMKM.

Mengingat kondisi normal, perputaran uang yang dibawa pemudik bisa mencapai 200T rupiah, maka dengan kondisi saat ini bisa mencapai 50T rupiah saja sudah sangat mengangkat pertumbuhan ekonomi di sektor riil, terkhusus UMKM yang merasakan betul dampak baiknya.

Meski dalam jumlah yang tidak maksimal, peran pemudik akan mengalirkan uang dan mengangkat perekonomian khususnya level mikro dan kecil. Terutama yang berkaitan dengan bisnis kuliner dan wisata. Untuk mengantisipasi berkerumunnya orang di tempat wisata, maka pemerintah bisa menginstruksikan asosiasi yang berkaitan tempat wisata seperti hotel agar mengurangi kapasitas hunian dan juga titik wisata.

Pada akhirnya, jika tidak adanya larangan mudik maka tidak akan memunculkan persepsi masyarakat bahwa efektifitas vaksin masih diragukan. Dan masyarakat bisa tetap berfikir positif dalam menghadapi kondisi ekonomi yang semakin berat karena dampak covid-19 yang belum juga berakhir.

Oleh: Trismayarni Elen S.E., M.Si / Praktisi dan Akademisi Akuntan, Pemerhati Bisnis dan Keuangan UMKM

Trismayarni Elen, SE., M.Si