Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Nana
Ilustrasi menstruasi. (Pexels/ Elements Envato)

Polemik dalam dunia ketenaga kerjaan sebenarnya sudah dari dulu dirasakan oleh masyarakat Indonesia, banyak sekali persoalan yang tidak kunjung usai mulai dari pemenuhan hak pesangon, upah minium yang kadang tidak sesuai dengan standar pemerintah,penerapan jam kerja yang tidak sejalan dengan peraturan perundang undangan serta pemenuhan hak cuti yang dinilai kurang. Permasalahan seperti ini umum kita temukan khususnya dirasakan oleh para pekerja perempuan. Tidak jarang diskriminasi diberikan kepada perempuan mulai dari dibatasinya beberapa jenis jabatan yang seharusnya dapat diisi oleh perempuan, pemberian gaji yang lebih rendah hingga tidak jarang kasus pelecehan juga kita jumpai. 

Dari banyaknya permasalah diatas penerapan cuti haid adalah salah satu jenis hak cuti yang jarang sekali diketahui bahkan didapatkan oleh para pekerja perempuan, cuti haid dianggap perlu karna hal ini berkaitan dengan kesehatan dan pemenuhan hak pekerja perempuan. Haid sendiri merupakan sebuah siklus regular bulanan yang dialami oleh hampir seluruh perempuan, dengan kondisi yang berbeda. diantaranya yang paling umum adaah nyeri/sakit,anemia atau kurang darah hingga ketidak nyamanan karna kurang stabilnya emosi pada perempuan yang mengalami menstruasi.

Gangguan tersebut sejatinya dapat mempengaruhi kesehatan dan psikologi perempuan saat melakukan pekerjaan,maka dari itu penting untuk mereka mendapatkan waktu istirahat ketika masa menstruasi untuk memulihkan kondisi. Berdasarkan survey medis yang dilakukan oleh YouGov sebanyak 90% pekerja perempuan mengalami nyeri haid, 86% diantaranya mengatakan hal tersebut berdampak pada pekerjaan dan memberikan tahu alasan tersebut kepada atasannya sedangkan 22% memberikan alasan lain dan 21% lainnya memilih bungkam. Nyeri haid pada perempuan sangat lumrah dirasakan karenanya pengaruh dismenore yang biasanya terjadi pada hari pertama dan kedua haid berlangsung. 

Cuti haid seharusnya sudah dengan mudah didapatkan karena dengan jelas diatur dalam undang undang yaitu dalam pasal 13 ayat 1 UU No.12 tahun 1948 “buruh perempuan tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid” peraturan pemberian cuti pada pekerja perempuan haid disini sudah jelas dapat dilakukan selama dua hari.

Namun, peraturan ini dinilai mengalami kemunduran dengan dikeluarkan peraturan baru pasal 81 ayat 1 UU 13 tahun 2003 yang berbunyi “pekerja perempuan yang dalam masa haid merasa sakit dan memberitahukan kepada pengusaha,tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.” Meskipun dalam pasal ini masih disebutkan dan tidak menghapuskan hak atas cuti haid namun ada penambahan peraturan berupa pembuktian  dan diteruskan dengan pasal 81 ayat 2 UU tahun 2003 yang berbunyi, "pelaksanaaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau peraturan kerja bersama.” 

Dalam pasal ini tidak dijelaskan secara gamblang mengenai teknis dan  prosedur pengajuan cuti haid  apakah harus menggunakan surat keterangan dokter sebagai pembuktian ataukah hanya sebatas laporan kepada atasan. Oleh karena itu perusahaan wajib untuk kemudian mengatur hal ini dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama ( PKB). 

Dapat kita lihat bersama mengapa regulasi dari Undang Undang cuti haid belum berjalan sebagaimana mestinya karena undang undang yang mengikat sepenuhnya belum mengatur secara jelas prosedur cuti haid bagi pekerja, jika kebijakan cuti haid diberikan dan dikembalikan lagi kepada kebijakan perusahaan seperti pada ayat dua maka disini peran perusahaan sangatlah penting.

Perlu adanya kesadaraan untuk kemudian memberikan pemenuhan dan penjaminan hak ketenagakerjaan di sini, perusahaan seharusya mendapatkan pengawasan yang ketat. Dalam perjanjian kerja tersebut juga seharusnya sudah diatur dengan jelas apabila pengajuan cuti tersebut memerlukan surat keterangan dokter dan medis sebagai penguat bukti hal ini juga seharusnya tidak boleh dijadikan sebagai penghalang dan dipersulitnya proses pengajuan cuti tersebut.

Jika perusahaan tidak memberikan jatah cuti haid  maka sanksi pidana yang akan diterima sebelumnya telah diatur dalam pasal 186 Undang Undang ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa perusahaan akan dikenakan sanksi pidana paling cepat empat bulan dan paling lama 1 tahun, bisa juga dikenakan denda paling sedikit 10 juta dan paling banyak 400 juta. Sanksi pidana yang diberikan di sini juga dinilai kecil dan dapat menjadi alasan kuat kenapa cuti haid masih sulit dan tidak wajar untuk diberlakukan, perlu adanya peraturan yang mengatur tentang penahanan izin aktivitas kerja perusahaan bahkan jika diperlukan dapat mencapai tahap pencabutan izin kerja tersebut. 

Sebagai perempuan, khususnya para pekerja di Indonesia sendiri masih banyak yang belum mengetahui terkait diperbolehkannya pengjuan serta peraturan yang mengatur tentang pemberlakuan cuti haidr ini, untuk itu perlu di galaknya edukasi terkait hal tersebut baik dari kalangan perempuan itu sendiri atau perusahan yang terlebih dahulu memberikan informasi. Cuti haid sendiri bukannya hal menyelempang dari konsep kesetaraan gender yang dengan memberikan perlakuan berbeda serta dapat dianggap istimewa kepada perempuan. Namun, justru peraturan ini mendukung perempuan untuk kemudian dapat mengembangkan kemampuannya secara maksimal dalam dunia pekerjaan karna dirasa memiliki lingkungan kondusif yang mendukung.

Untuk pemberian upah kerja sendiri jika seseorang melakukan cuti haid maka pekerja perempuan masih mendapatkan upah penuh sesuai dengan ketentuan dalam UU Ketenagarkerjaan 13/2003 pasal 93 ayat (2) yang berbunyi, “pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.” Menanggapi hal ini perusahaan bisa saja memberikan kebijakan berupa work form home kepada pekerja perempuan selama masa cuti haid tersebut, sesuai dengan kesepakatan dan kontrak kerja yang sudah disetujui di awal.

Nana