Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fauzah Hs
Ilustrasi bendera Jepang.[Unsplash/Roméo A]

Bayangkan memiliki satu hari ekstra setiap minggu untuk bersantai, mengejar hobi, atau menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga. Hal ini segera menjadi kenyataan bagi pegawai pemerintah metropolitan Tokyo. Mulai April 2025, Tokyo akan memperkenalkan pilihan kerja empat hari dalam seminggu—sebuah langkah revolusioner untuk menciptakan keseimbangan hidup yang lebih baik dan memberdayakan pekerja, terutama perempuan.

Kebijakan ini tidak hanya merombak sistem kerja konvensional, tetapi juga menempatkan Tokyo sebagai pelopor inovasi gaya kerja di Jepang. Bagaimana kebijakan ini dirancang, dan apa dampaknya terhadap masa depan dunia kerja di Jepang? Berikut ulasan lengkapnya.

Saat ini, sistem kerja untuk pegawai pemerintah Tokyo menetapkan total jam kerja sebanyak 155 jam dalam kurun waktu empat minggu. Meskipun begitu, sistem ini memberikan fleksibilitas tertentu, memungkinkan pegawai untuk memilih hari kerja mereka sendiri. Selain itu, pegawai juga diberikan satu hari libur kerja dalam periode empat minggu. Namun, kebijakan ini dinilai masih belum cukup untuk memberikan ruang yang optimal bagi pegawai dalam menyeimbangkan kehidupan profesional dan personal.

Mulai April 2025, perubahan besar akan diperkenalkan dengan opsi kerja empat hari dalam seminggu. Pegawai akan memiliki hak untuk mengambil satu hari kerja libur setiap minggu, yang berarti waktu luang mereka akan bertambah. Langkah ini diharapkan dapat memberikan dampak positif tidak hanya pada kesejahteraan pegawai, tetapi juga pada produktivitas mereka. Dengan lebih banyak waktu untuk istirahat, mengembangkan diri, atau menghabiskan waktu bersama keluarga, pegawai diharapkan mampu bekerja lebih efisien dan kreatif.

Gubernur Tokyo, Yuriko Koike, menyatakan dengan tegas bahwa kebijakan ini dirancang untuk mendukung perempuan yang sering kali harus menyesuaikan perjalanan karier mereka dengan peristiwa penting dalam kehidupan, seperti melahirkan atau membesarkan anak.

"Kami akan terus meninjau gaya kerja secara fleksibel untuk memastikan perempuan tidak perlu mengorbankan karier mereka," ungkap Koike, seperti yang dilaporkan oleh The Japan Times. Pernyataan ini mencerminkan komitmen pemerintah Tokyo untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, di mana perempuan dapat terus berkembang secara profesional tanpa harus mengorbankan tanggung jawab pribadi mereka.

Selain itu, kebijakan baru ini juga didukung dengan sistem “child care partial leave,” yang memungkinkan pegawai mengurangi jam kerja mereka hingga dua jam per hari. Langkah ini memberikan fleksibilitas tambahan bagi orang tua, khususnya ibu, dalam mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya bermanfaat bagi perempuan, tetapi juga bagi seluruh pegawai yang menginginkan keseimbangan hidup yang lebih baik.

Apakah ini akan menjadi titik awal revolusi kerja di Jepang? Jika wilayah lain dan sektor swasta terinspirasi untuk mengikuti, kita bisa menyaksikan transformasi signifikan dalam budaya kerja Jepang, yang selama ini dikenal dengan jam kerja panjangnya.

Tokyo telah mengambil langkah awal yang berani. Sekarang, dunia menunggu untuk melihat bagaimana kebijakan ini akan membentuk masa depan kerja, tidak hanya di Jepang tetapi juga sebagai contoh inspiratif bagi negara-negara lain.

Fauzah Hs