Bimo Aria Fundrika
Pekerja melindungi tubuh dari terik matahari menggunakan payung saat berjalan di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (21/12/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Lebih dari satu miliar unggahan media sosial dianalisis ilmuwan untuk mencari tahu keterkaitan cuaca panas dengan emosi manusia.

Kalau kamu merasa lebih gampang tersulut saat cuaca terik, ternyata itu bukan sekadar perasaan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa suhu ekstrem memang berpengaruh pada suasana hati.

Tim dari MIT bersama sejumlah lembaga internasional menganalisis ekspresi emosi di media sosial, memantau 1,2 miliar postingan dari X dan Weibo di 157 negara. Setiap unggahan diberi skor sentimen, dari yang paling murung hingga paling positif, lalu dipetakan dengan kondisi cuaca di hampir 3.000 lokasi.

Hasilnya jelas begitu suhu melewati 35°C, nada unggahan berubah lebih murung, 25% lebih negatif di negara berpenghasilan rendah, dan 8% di negara berpenghasilan tinggi.

“Media sosial membuka akses yang belum pernah ada sebelumnya untuk memahami emosi manusia di berbagai negara dan budaya,” ujar Jinghao Wang dari Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok.

Mengapa ini penting?

Kondisi jalanan di kawasan Cengkareng Jakbar saat cuaca panas ekstrem di Jakarta. (Suara.com/Faqih)

Temuan ini memperlihatkan bahwa perubahan iklim tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga pada kondisi emosional. Fakta bahwa masyarakat berpenghasilan rendah lebih rentan secara emosional menegaskan adanya ketimpangan, sekaligus pentingnya adaptasi dalam menghadapi iklim ekstrem.

Sejak 1980-an, penelitian sudah menyingkap pola serupa: makin panas cuaca, makin tinggi ketegangan. Pengemudi lebih sering membunyikan klakson, wartawan lebih banyak menulis dengan nada negatif saat liputan di cuaca panas, dan data kriminalitas juga menunjukkan peningkatan insiden kekerasan. Bahkan, riset 2018 mencatat risiko bunuh diri meningkat saat musim panas.

Apa penyebabnya? Ada beberapa teori. Sebagian peneliti menyebut suhu panas memengaruhi zat kimia otak seperti serotonin, yang mengatur rasa bahagia dan cemas. Teori lain menyoroti kenaikan hormon testosteron yang bisa memicu agresivitas. Namun sejauh ini, hubungannya masih korelasi, bukan sebab-akibat langsung.

Dengan iklim yang semakin panas, para peneliti memperkirakan kesehatan emosional masyarakat juga akan terdampak. Akan tetapi, ada peluang manusia beradaptasi. Studi memproyeksikan sentimen negatif bisa menurun sekitar 2,3% pada tahun 2100 karena kemampuan adaptasi tersebut.

Peneliti MIT, Nick Obradovich, menambahkan: “Seiring perubahan cuaca dan iklim, manusia juga belajar menjadi lebih kuat terhadap guncangan emosional mereka.”

Analisis media sosial memang membuka gambaran besar, tetapi tidak sepenuhnya mewakili semua kelompok masyarakat. Lansia dan anak-anak, yang mungkin paling rentan terhadap panas, jarang tercermin dalam data. Artinya, dampak emosional dari suhu ekstrem kemungkinan jauh lebih besar dibanding yang sudah terukur.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti