Hayuning Ratri Hapsari | Siti Nuraida
Inilah ketujuh anggota Brimob di dalam rantis yang melindas mati driver ojol, Affan Kurniawan. [Suara.com/Muhammad Yasir]
Siti Nuraida
Baca 10 detik
  • Tujuh anggota Brimob, termasuk seorang komandan berpangkat Kompol, yang berada di dalam kendaraan taktis (rantis) pelindas pengemudi ojol Affan Kurniawan telah teridentifikasi dan dipastikan melanggar etik. 
  • Para pelaku tidak hanya menghadapi sidang etik internal dengan sanksi maksimal berupa pemecatan tidak dengan hormat (PTDH), tetapi juga berpotensi besar dijerat proses hukum pidana atas kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang
  • Insiden ini menjadi ujian besar bagi transparansi dan akuntabilitas Polri di bawah tekanan publik yang masif. Hasil sidang etik dan keputusan untuk menindaklanjuti ke proses pidana akan menjadi penentu tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian ke depan.
[batas-kesimpulan]

Kasus meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, setelah terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob dalam aksi demonstrasi di Jakarta, kini menjadi perhatian luas publik.

Tujuh anggota Brimob yang berada di dalam rantis saat insiden terjadi sudah dipastikan melanggar etik dan tengah menghadapi ancaman sanksi berat. Dari hasil investigasi internal Polri, mereka bukan hanya berhadapan dengan proses etik, melainkan juga berpotensi masuk ranah pidana.

Kronologi Insiden Tabrak-Lindas

Detik-detik Affan Kurniawan tewas dilindas mobil brimob (Suara.com)

Insiden bermula saat aksi unjuk rasa di Jakarta yang berlangsung ricuh. Di tengah situasi itu, sebuah kendaraan taktis Brimob melintas dan melindas seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan. Video yang merekam detik-detik kejadian menyebar cepat di media sosial, memicu gelombang kritik terhadap aparat.

Affan yang saat itu berada di lokasi aksi diduga tidak sempat menghindar saat rantis bergerak. Akibatnya, ia mengalami luka fatal dan meninggal dunia. Kematian Affan memicu respons emosional dari publik karena dianggap sebagai simbol represivitas aparat terhadap warga sipil.

Identitas Tujuh Anggota Brimob

7 Anggota Brimob yang Lindas Ojol Saat Demo (Ist.)

Ada tujuh anggota Brimob yang berada di dalam rantis tersebut. Identitas mereka sudah diverifikasi melalui Kartu Tanda Anggota (KTA) oleh Kompolnas, sehingga tidak ada keraguan soal status keanggotaan.

Ketujuh personel itu terdiri dari seorang perwira menengah, seorang perwira pertama, serta lima anggota berpangkat bintara. Rincian nama mereka pun dibuka ke publik sebagai bentuk transparansi:

  1. Kompol K – perwira menengah, komandan dalam rantis.
  2. Ipda S – perwira pertama.
  3. Bripka A – bintara.
  4. Bripka R – bintara.
  5. Briptu H – bintara.
  6. Briptu J – bintara.
  7. Bripda F – bintara.

Dari hasil pemeriksaan awal, dua anggota terindikasi kuat melakukan pelanggaran berat sehingga kemungkinan besar bakal dipecat.

Peran Komandan dan Kontroversi Kompol K

Salah satu nama yang paling banyak disorot publik adalah Kompol K. Kompol K dianggap melakukan pelanggaran berat karena posisinya sebagai komandan dalam rantis. Video yang beredar menunjukkan ia mengetahui pergerakan kendaraan, tetapi tidak mengambil langkah untuk mencegah peristiwa tragis itu.

Keterlibatan Kompol K menambah bobot kasus ini. Pasalnya, publik menilai jika komandan lapangan tidak menegur atau menghentikan tindakan anggotanya, maka ada kelalaian serius dalam rantai komando.

Ancaman Hukuman Etik

Ancaman sanksi etik terhadap tujuh anggota Brimob cukup beragam, mulai dari teguran keras, penundaan kenaikan pangkat, mutasi bersifat demosi, hingga pemecatan tidak dengan hormat (PTDH).

Keluarga korban menuntut agar kasus ini tidak berhenti pada sanksi etik. Mereka menegaskan, apa yang dialami Affan sudah masuk tindak pidana karena menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.

Proses Sidang Etik Brimob

Kompol Cosmas Kagae saat menjalani sidang etik di ruang sidang di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Rabu (3/9/2025). (ANTARA/HO-YouTube Polri TV)

Sidang etik dijadwalkan berlangsung pada Rabu dan Kamis, 3–4 September 2025. Dalam sidang itu, tim pemeriksa akan menilai sejauh mana keterlibatan tiap anggota dan menentukan hukuman yang setimpal.

Sidang etik ini akan diawasi langsung oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, dengan Kompolnas sebagai pengawas eksternal. Hal ini dilakukan untuk menjawab keraguan publik terkait transparansi proses hukum internal Polri.

Kemungkinan Jerat Pidana

Selain sidang etik, jalur pidana juga terbuka. Polri masih menunggu hasil gelar perkara untuk memutuskan pasal yang akan dikenakan. Ada kemungkinan pasal yang digunakan adalah terkait tindak pidana penganiayaan atau kelalaian yang menyebabkan kematian, sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Jika masuk ke jalur pidana, para anggota Brimob bisa menghadapi hukuman penjara di luar sanksi etik internal. Menurut pakar hukum pidana, kasus ini tidak boleh hanya berhenti pada ranah etik karena telah menghilangkan nyawa orang lain.

Tekanan Publik dan Respons Polri

Kasus ini menjadi sorotan luas media dan masyarakat. Polri memastikan tidak ada impunitas bagi anggotanya yang terbukti bersalah. Kepala Divisi Humas Polri juga menyatakan bahwa institusi akan bertindak transparan dan profesional.

Namun, publik tetap menaruh curiga. Tagar #KeadilanUntukAffan ramai di media sosial, dengan banyak warganet mendesak agar proses hukum dilakukan secara terbuka dan tidak berhenti di meja sidang etik.

Tuntutan Keluarga Korban

Keluarga Affan angkat bicara soal insiden ini. Mereka menegaskan hanya ingin keadilan ditegakkan.

“Kami tidak ingin ada lagi korban berikutnya. Kami hanya minta keadilan,” ujar salah satu anggota keluarga.

Keluarga juga meminta agar Polri menindak tegas anggotanya tanpa pandang bulu. Mereka berharap kasus ini bisa menjadi pelajaran penting agar aparat lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas.

Pandangan Pengamat dan LSM

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut menyoroti kasus ini. Mereka menilai, jika Polri gagal memberikan hukuman yang setimpal, maka kepercayaan publik terhadap aparat akan semakin merosot.

Pengamat kepolisian menyebut, sidang etik hanyalah langkah awal. Menurutnya, proses pidana wajib dijalankan agar korban dan keluarga benar-benar mendapat keadilan.

Kesimpulan: Menunggu Sidang dan Putusan

Sidang etik yang digelar pada awal September ini akan menjadi ujian besar bagi Polri. Jika sidang etik hanya menghasilkan hukuman ringan, maka kekecewaan publik sangat mungkin terjadi. Namun, bila berlanjut ke proses pidana dengan hukuman yang sepadan, Polri bisa memulihkan kepercayaan publik yang tergerus.

Affan Kurniawan kini menjadi simbol perjuangan masyarakat sipil melawan tindakan represif aparat. Seperti disampaikan keluarga, “Kami hanya ingin keadilan.”