Kebudayaan merupakan bentuk dari hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia yang menjadi identitas dan jati diri setiap daerah. Salah satu contoh kebudayaan adalah pakaian adat. Pakaian adat menjadi ciri khas dari daerah mana sekelompok orang berasal, karena ia biasanya dikaitkan dengan wilayah geografis atau periode waktu dalam sejarah.
Seperti kebudayaan yang terdapat di Banten, sebuah provinsi yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Ia memiliki kekayaan kebudayaan berupa pakaian adat dari salah satu suku yang ada di provinsi ini, yaitu Suku Baduy. Pakaian adat suku ini berupa kain tenun. Kain tenun Suku Baduy memiliki kekhasannya sendiri terutama jika dilihat dari bahannya yang agak kasar dan warnanya yang cenderung dominan.
Sudah dua kali saya berkesempatan mengunjungi Kampung Wisata Suku Baduy yang terletak di wilayah Gunung Kendeng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Lokasinya sekitar 40 kilometer lagi dari pusat kota Rangkasbitung. Sekarang wilayah ini dijadikan desa wisata agar masyarakat Banten dan wisatawan domestik maupun mancanegara lebih tertarik untuk mengenal kebudayaan dan kehidupan Suku Baduy yang termasuk ke dalam Suku Sunda Banten.
Dan, saya merasa beruntung karena bisa melihat cara pembuatan kain tenun Suku Baduy dan juga membelinya secara langsung dari si pembuatnya. Hal ini memberikan kesan yang mendalam bagi saya pribadi. Apalagi, ketika saya tahu tentang sejarah dan budaya kain tenun ini, saya jadi semakin tertarik dan bangga bahwa di daerah saya sendiri ada sebuah kain tenun yang tidak ternilai harganya.
Proses dan waktu pembuatan kain tenun Suku Baduy memakan waktu yang tidak sebentar, bahkan terkadang membutuhkan waktu berbulan-bulan. Apalagi, proses pembuatannya dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat yang sangat sederhana berupa bambu dan kayu. Hebatnya, Suku Baduy menciptakan alat tenunnya sendiri dari semenjak ratusan tahun yang lalu. Alat tenunnya disebut Pakara Tinun, yang terdiri dari bagian-bagian bambu dan kayu yang bisa dibongkar pasang.
Kain tenun Suku Baduy mempunyai motif tergantung dari suku mana yang membuatnya. Suku Baduy Dalam hanya menggunakan motif polos (berwarna hitam atau putih saja) dan motif aros. Motif aros ini memiliki warna hitam dengan garis-garis putih tipis. Untuk melihat pembuatannya, kamu harus menuju Desa Cikeusik, Cikertawarna, atau Cibeo. Ketiga desa ini adalah tempat tinggal para Suku Baduy Dalam.
Sedangkan, kain tenun yang dibuat oleh Suku Baduy Luar mempunyai motif garis warna-warni dan motif yang terinspirasi dari alam, seperti motif garis lurus, motif spiral, motif suat samata, motif suat balimbingan, motif tajur pinang, motif suat kembang gedang, dan motif-motif lainnya. Untuk melihat pembuatannya, kamu bisa mengunjungi Desa Wisata Kampung Marengo Baduy Luar yang tidak jauh dari terminal Ciboleger.
Suku Baduy menggunakan kain tenun untuk pakaian sehari-hari. Selain itu, kain tenun digunakan untuk menghadiri acara-acara formal, seperti acara keagamaan, ketika akan berkunjung ke tempat Puun atau pemimpin, dan digunakan dalam acara pernikahan. Seiring perkembangan zaman, Suku Baduy Luar membuat kain tenun yang lebih beragam dalam hal bentuk dan fungsinya, mereka menggunakannya sebagai syal, selendang, taplak meja, ikat kepala, dan fungsi-fungsi keseharian lainnya.
Bagi Suku Baduy, membuat kain tenun merupakan perwujudan ketaatan mereka pada leluhur. Makanya, dalam pembuatannya membutuhkan kerapian, kedisiplinan dan ketekunan sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh leluhur mereka.
Bagi saya pribadi, melihat cara pembuatan kain tenun secara langsung dan mengenal budaya tentang kain tenun Suku Baduy menjadi hal yang sangat penting, karena sebagai generasi penerus bangsa saya harus bangga dan mencintai budaya bangsa, terutama dari daerah sendiri.
Baca Juga
-
Spearfishing di Pantai Anyer, Seru dan Anti-gagal
-
5 Daya Tarik Anyer yang Tak Terlupakan, Lebih dari Sekadar Pantai dan Hotel Mewah
-
Mengenal Masjid Kuno Berusia 400 Tahun di Kota Badak Pandeglang
-
Setelah Tsunami dan PPKM, Kawasan Wisata Tanjung Lesung Tertata Lebih Rapi
-
Merawat Keberagaman: Cerita Ibu Dulu, Pengalaman Saya Sekarang
Artikel Terkait
-
Kosambi Tangerang Mencekam, Warga Bakar Truk Tanah dan Bentrok dengan Polisi, Ini Penyebabnya
-
Indonesia dan Lunturnya Budaya Malu, dari "Jam Karet" hingga Korupsi
-
Borobudur Writers and Cultural Festival 2024 Bakal Digelar 19 - 23 November di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi
-
Oknum Polisi Ditpolairud yang Aniaya Warga Hingga Tewas Ditahan di Polda Banten
-
4 Fakta Menarik Batik Nitik Yogyakarta yang Jarang Diketahui
Rona
-
Fesyen Adaptif: Inovasi Inklusif di Dunia Mode untuk Penyandang Disabilitas
-
KILAS dan Edukasi G-3R di Cimenyan: Membangun Kesadaran Pengelolaan Sampah
-
Vera Utami: Pionir Inklusivitas Pakaian Adaptif bagi Penyandang Disabilitas
-
Ekoregion Pembangunan Wilayah di Papua sebagai Solusi Pembangunan Berkelanjutan
-
Rahma dan Segudang Prestasinya, Kisah Inspiratif Dalang Perempuan Melestarikan Budaya
Terkini
-
Sinopsis Citadel: Honey Bunny, Series Terbaru Varun Dhawan di Prime Video
-
4 Rekomendasi Film yang Dibintangi Dakota Fanning, Terbaru Ada The Watchers
-
Sukses! Mahasiswa Amikom Yogyakarta Adakan Sosialisasi Pelatihan Desain Grafis
-
EXO 'Monster': Pemberontakan dari Psikis Babak Belur yang Diselamatkan Cinta
-
Tayang 22 November, Ini 4 Pemain Utama Drama Korea When The Phone Rings