Rebo Wekasan, yang juga dikenal sebagai Rabu Pungkasan, adalah sebuah tradisi yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura. Tradisi ini dirayakan setiap tahun pada hari Rabu terakhir dalam bulan Safar dalam kalender Islam.
Secara bahasa, "Rebo" berarti Rabu, sedangkan "Wekasan" berarti yang terakhir. Oleh karena itu, Rebo Wekasan secara literal berarti "Rabu yang terakhir". Hari ini dianggap sebagai hari yang penuh dengan kesialan dan marabahaya, sehingga masyarakat melakukan ritual khusus untuk memohon perlindungan kepada Allah.
Tradisi Rebo Wekasan merupakan hasil perpaduan unik antara warisan lokal dengan nilai-nilai agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari berbagai ritual yang dilakukan dalam perayaan ini, seperti salat tolak bala, selamatan, dan puasa Rebo Wekasan.
Misalnya yang terjadi di Bantul, Yogyakarta. Dilansir bantulkab.go.id, di Bantul, Yogyakarta, Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan adalah bentuk ungkapan syukur yang dirayakan sekali setahun, pada malam Rabu di minggu terakhir bulan Sapar dalam Kalender Jawa. Dengan menggelar kirab lemper setinggi 2,5-meter dengan diameter mencapai 45 cm.
Selanjutnya, lemper kemudian diarak dari Masjid Al-Huda Karanganom menuju Balai Kalurahan Wonokromo sejauh 2 km.
Acara mencapai puncaknya saat lemper raksasa dipotong tokoh masyarakat atau aparat pemerintah kabupaten/kalurahan, menjadi momen yang sangat dinanti-nantikan. Potongan-potongan lemper ini lalu dibagikan kepada para tamu undangan dan pengunjung yang hadir.
Asal Mula Rebo Wekasan
Asal mula Rebo Wekasan dapat ditelusuri hingga ke masa penyebaran agama Islam di Indonesia. Orang Jawa dahulu meyakini bahwa hari Rabu terakhir dalam bulan Safar adalah hari yang penuh dengan sial, sesuai dengan kepercayaan lama kaum Yahudi.
Pada tahun 1602, saat ada berita tentang rencana penjajahan Belanda di Jawa, masyarakat menjalankan serangkaian ritual untuk menolak kedatangan penjajah tersebut. Inilah yang kemudian berkembang menjadi tradisi Rebo Wekasan.
Tradisi ini juga terkait dengan petunjuk dari Sunan Giri tentang mengadakan upacara adat Rebo Wekasan saat menghadapi kekeringan dan sumber air.
Tradisi Rebo Wekasan
Tradisi Rebo Wekasan dirayakan dengan berbagai cara di seluruh Indonesia. Beberapa ritual yang umum dilakukan antara lain:
- Salat Tolak Bala
Salat tolak bala adalah ritual yang paling umum dilakukan dalam perayaan Rebo Wekasan. Salat ini dilakukan pada hari Rabu terakhir dalam bulan Safar, biasanya di masjid atau tempat ibadah lainnya. Tujuannya adalah untuk memohon perlindungan dari segala macam musibah dan malapetaka.
- Selamatan
Selamatan adalah ritual syukuran yang dilakukan untuk memohon perlindungan dari Allah. Selamatan ini dapat dilakukan secara sederhana atau besar-besaran, tergantung pada kemampuan masyarakat setempat. Makanan dan minuman tradisional biasanya disajikan dalam perayaan ini.
- Puasa Tolak Bala
Puasa Rebo Wekasan, sering disebut sebagai puasa tolak bala, adalah puasa yang dilakukan selama 3 hari, yaitu hari Rabu, Kamis, dan Jumat terakhir dalam bulan Safar.
Puasa ini dilakukan dengan niat untuk memohon perlindungan dari Allah. Meskipun ibadah ini tidak diizinkan dalam syariat Islam, masyarakat tetap menjalankannya untuk menjaga warisan budaya.
- Mitos dan Larangan
Selain ritual-ritual tersebut, ada juga mitos dan larangan yang terkait dengan Rebo Wekasan. Menurut tradisi dan kepercayaan lokal, beberapa larangan tersebut meliputi:
- Larangan menikah
Menikah pada Hari Rabu Wekasan dianggap sebagai tindakan yang membawa sial, khususnya dalam konteks pernikahan, dan bisa memengaruhi harmoni dalam rumah tangga.
- Larangan berhubungan intim
Rebo Wekasan dipercaya memiliki energi mistik atau spiritual yang kuat yang dapat memengaruhi hubungan intim antara pasangan dan membawa dampak negatif.
- Larangan bepergian
Ada juga larangan untuk melakukan perjalanan jauh pada Hari Rebo Wekasan, karena diyakini bahwa energi gaib pada hari tersebut dapat membawa bencana atau masalah bagi yang melakukan perjalanan jauh.
Rebo Wekasan adalah tradisi yang kaya akan warisan budaya. Tradisi ini memadukan elemen-elemen budaya lokal dengan nilai-nilai agama Islam.
Mitos dan larangan yang melekat pada tradisi ini tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya masyarakat Indonesia. Momen ini merayakan keseimbangan antara spiritualitas dan warisan budaya yang penuh dengan keunikan seperti yang disarikan dari sumber tulisan Yusuf Suharto.
Baca Juga
-
Sudah Tahu Well Being? Ini Cara Mewujudkannya agar Hidupmu Jadi Lebih Baik
-
Mengulik Polemik Iuran Tapera yang Diprotes Banyak Pekerja
-
7 Cara Menghadapi Orang Sombong Menurut Psikolog Klinis, Hadapi dengan Santai!
-
Orang Tua Harus Waspada, Apa Saja yang Diserap Anak dari Menonton Gadget?
-
Tidak Harus Karier dan Finansial, 8 Hal Ini Bisa Dijadikan Resolusi Tahun 2024
Artikel Terkait
-
Destinasi Liburan Akhir Tahun, Menikmati Tradisi Natal di 3 Negara Asia
-
Menggali Tradisi Sosial dengan Dinamika Tak Terduga Melalui Arisan
-
Aldi Satya Mahendra Sekolah di Mana? Cetak Sejarah Pembalap RI Pertama Juarai WorldSSP300
-
MAN 2 Bantul Meriahkan Expo Kemandirian Pesantren di UIN Sunan Kalijaga
-
Langkah Bijak Menolak Perjodohan dari Orangtua
Rona
-
Tantangan Pandam Adiwastra Janaloka dalam Memasarkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Mengenal Pegon, Kendaraan Tradisional Mirip Pedati yang Ada di Ambulu Jember
-
Fesyen Adaptif: Inovasi Inklusif di Dunia Mode untuk Penyandang Disabilitas
-
KILAS dan Edukasi G-3R di Cimenyan: Membangun Kesadaran Pengelolaan Sampah
-
Vera Utami: Pionir Inklusivitas Pakaian Adaptif bagi Penyandang Disabilitas
Terkini
-
Dilibas Tottenham Hotspur 4-0, Era Keemasan Manchester City Telah Berakhir?
-
Ulasan Novel 'Tari Bumi', Kehidupan Perempuan Bali di Tengah Tekanan Kasta
-
WayV Bertransformasi Jadi Bad Boy di Teaser MV Lagu Terbaru 'Frequency'
-
Berpisah dengan Ducati, Bos Pramac Sampaikan Pesan Kesan yang Positif
-
Belajar Percaya Diri Melalui Buku The Power of Confidence Karya Palupi