Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | M Ghaniey Al Ra
Ilustrasi swa-karantina / self quarantine (unsplash/Jose Antonio Gallego Vázquez)

Gemertak suara kentongan dan pijaran petasan mewarnai malam-malam menuju hari suci umat islam. Aroma kari ayam dan santan pedas, beramai-ramai dibuat sebagai tanda puasa segera tiba. Suka cita nampak jelas ketika anak-anak dengan riang gembira menggema sebagai tradisi menuju hari suci.

Gambaran tersebut mungkin jarang sekali ditemui di negara-negara lain. Indonesia mempunyai ciri tersendiri hingga siapapun yang bersinggah di luar negeri pasti akan kangen dan ingin kembali karena keunikan negeri Indonesia.

Susah maupun senang kadang tak tampak dari wajah-wajah mereka. Kebersamaan tujuan utama membangun siklus kehidupan lebih damai walau sering diterpa badai cobaan. Merantau itu keharusan. Celetuk pak tua penjual kopi, ketika Dika sedang menyeruput kopi yang baru diseduh itu.

Sebatang rokok dikeluarkan dari dalam sakunya sembari menimpali celetukan penjual kopi itu. Kagak merantau sama dengan cupet bang, kagak ada pengalaman dan lebih pastinya, panas kuping gerundelan tetangga. Belum lagi ditanyai, “Sudah kawin belum?”

Hampir satu tahun, kondisi berubah total setelah datangnya pandemi yang membuat susah beberapa masyarakat karena pandemi. Nasib manusia perantauan diambang pilu. Resiko korban PHK sampai mikir sembilan kali kasih uang sekolah dan jajan untuk adik dan simak di rumah.

Dika adalah anak pertama dan kebanyakan orang Indonesia menyebut sebagai “tulang punggung keluarga.” Tak adil rasanya segala urusan dilimpahkan pada anak pertama, tak sedikit anak kedua atau ketiga leha-leha hingga pusing dibuat anak pertama karena terjebak pemikiran lama. Bersyukurlah bagi mereka yang mempunyai nalar terbuka. Tidak ada istilah pertama itu tonggak utama. Tidak! Semua sama.

Suara kelompok burung walet dan aroma teh yang masih mendidih mewarnai situasi malam itu di warung makan. Nampak gerombolan Ojek Online sedang bersitirahat dan beberapa sembari menunggu orderan dari gadget mereka. Dika selalu berkunjung di toko itu, minimal beristirahat atau ngobrol sana-sini seputar masalah kehidupan.

Pak tua selalu menyambut hangat kedatangan Dika, karena tak luput berbincang mengenai negara hingga perbincangan receh yang mengundang gelak tawa. Pak tua hampir dua puluh lima tahun merantau dan menetap di kota yang penuh pabrik itu. Sedangkan Dika bekerja sebagai buruh disalah satu pabrik terbesar di kota itu.

Sebentar lagi puasa segera tiba. Kemungkinan dibulan pertama tutup dahulu, takut di grebeg pasukan gusur. Sembari mengaduk pesan kopi tawar. Pak tua bercerita bagaimana pengalaman dua tahun lalu cekcok hingga adu pukul karena menolak warungnya ditutupi atas paksaan pasukan gusur.

Cari duit itu susah, apalagi ditambah ngadepin oknum pasukan gusur moncongnya selalu berdalil “dilarang buka warung makan di tengah puasa.” Kadang terlalu tekstual membumbui dengan tujuan sesuai pada kondisi hari ini. Ya, masa mereka banyak pak. Datangnya keroyokan, kalau satu-satu kan bisa diajak ngobrol santai. Kalau satu kompi, beh! Kadang semena-mena.

Absurditas kehidupan dalam negara yang katanya memberikan kenyamanan dan kedamaian nampak beberapa menganggap semua itu semu. Ketidakpastian dan hanya semboyan melengkapi formalitas Hak Asasi Manusia sebagai mempermulusnya jalannya regulasi. Kalau terjadi penyimpangan? Bisa diatur.

Kernyit dahi dan rasa ingin tahu Dika memantik untuk bertanya pada pak tua. Pak tua, apakah negara tidak memberikan perlindungan dan solusi?. Lah, wong yang nyuruh tutup itu dari instansi negara loh, belum lagi ditambah pasukan berjubah. Tapi bersyukur deh, sekarang kayaknya sudah dibredel ya? Nampak senang penuh harapan wajah pak tua ketika nyeletuk –dibredel.

Meraih dompet disaku belakang, Dika segera membayar dan lekas kembali bekerja. Tak sengaja, Dika melihat foto adik dan ibunya membuat terenyuh siang itu. Dibayangkannya kehidupan di desa hingga teringat masakan bubur kacang ijo ibu yang khas disantap saat waktu berbuka datang.

 Iklan sirup ditelevisi mulai nampak seakan menggambarkan oase bulan suci. Di tempat Dika sementara nampak banyak yang bersuka cita hingga menghias area lingkungan masjid sampai gang-gang sempit diperbarui cat nya.

Suara denging megaphone masjid pertanda persiapan menjelang hari suci akan segera berlangsung esok ataupun lusa. Suara denging melengking megapon mengingatkan pada tanggung jawab untuk berkunjung kerumah ibu dan memberi banyak bingkisan pada sanak keluarga.

Dihirupnya dalam-dalam dan dihembuskannya dibuanglah kepenatan yang baru saja hadir itu. Mengisi cangkir dengan segelas kopi adalah opsi terbaik untuk menghangatkan situasi. Dalam fikirnya terlintas sejenak –Mudik dan THR.

Koran-koran. Di lemparkannya Koran langganan Dika untuk mengisi waktu pada waktu senggang. Meluangkan untuk membaca adalah cahaya. Tanpa membaca bisa gelap nalar dan karsa kita. Seperti itulah yang ditanamkan guru SD nya walau Dika pernah tak naik kelas karena alergi Matematika.

Dilihatnya pada halaman pertama, mudik tahun ini kembali dilarang, sudah satu kali tak balik kekampung halaman. Nampak pucat dan sedih raut muka. Lebaran kemarin tak bisa balik kerumah, takut diborgol dan dipenjara karena melawan aturan negara. Terlintas dipikirannya bila saja Dika adalah penguasa di Kota itu, dengan mudah pastinya bisa kembali ke kampung halamannya.

Dirogohnya kantung celana dan ditemuinya dua lembar uang lima puluh ribu. Cukup untuk uang makan dan rokok dua hari kedepan. Nampak, lapang terhibur dan syukur akan tetapi keluarga disebrang sana.

Tak sengaja, Koran terjatuh dilantai dan diambilnya kembali untuk mencari lebih banyak informasi. “Warga Negara Asing (WNA), terdata mulai masuk kedalam negeri.” Wah, gila bener, orang yang dalem kagak bisa mudik, bisa-bisanya orang yang luar bisa plesir ke Indonesia.”

Teringat ocehan temannya yang menjadi juru bicara salah satu partai politik, dengan gagah memberikan penyampain kepada Dika dan kawan-kawan yang tak sekolah sampai perguruan tinggi itu. Ya sebenarnya kebijakan itu digunakan untuk mengatasi defisit dan keringnya cash flow di dalam negeri. Pandemi ini tidak bisa hilang seratus persen. Maka dari itu, harus dibiasakan.

Kadang ucapan penguasa agung itu, tidak sesuai dan menyimpang dari kontek yang terjadi hari ini. Sekolah ditutup sampai tolol semua murid. Akan tetapi mall dan pasar dibuka selebar-lebarnya. Fokus mereka sektor ekonomi. Ekonomi mempengaruhi gejolak dan gerak di kehidupan. Renung Dika sembari memperhatikan tokek yang sedang tarung hingga terlepas ekor dari salah satu mereka.

Ekonomi memang sebagai oli. Renung Dika dengan membenturkan kehidupannya hari ini. Banyak duit semakin senang. Sedikit duit, bisa gila dibuatnya. Tapi apakah semua itu harus tentang uang? Mengapa tidak yang lain?

Gemrincing suara alarm mengingatkan Dika akan ada pertemuan di balai pertemuan. Dika segera bergegas mencuci muka dan berpakaian seadanya, karena acara itu dihadiri kepada desa dan bupati untuk sosialisasi pendataan zakat dan agenda kerja bakit sebelum hari lebaran tiba.

Tinggal di tengah kampung yang dihimpat pepatnya kehidupan kota, membuat nyaman dan kadang dipaksa nyaman oleh situasi. Pak Tua dan  semuanya dianggapnya sebagai keluarga baru. Tak segan dika selalu membantu apapun yang ia biasa kepada kampung yang dianggapnya sebagai keluarga.

Sosialisasi telah berlangsung. Dinikmatinya celoteh dan himbauan untuk tetap menjalankan protokol kesehatan. Tak lupa juga dari kepala dan bupati menyampaikan pentingnya berbagi zakat. Ditengah kehidupan terhimpit oleh pandemi lebih tepatnya untuk bisa berbagi. Zakat itu solusinya. Penuh semangat pak lurah menyempilkan dalil-dalinya.

Hampir dua jam sudah pertemuan itu berlangsung. Dika langsung menyingsingkan lengan bajunya untuk kembali bekerja. Tanpa berlama-lama disalaminya warga sekitar dan langsung menyalakan motor vespa tuanya itu. Hati-hati di jalan mas Dika. Siap mas. Begitulah keakraban di kampung. Sudah sangat kuat.

Berkali-kali dering telfon tanda panggilan masuk, akan tetapi Dika sedang mengendarai motor, berhenti sebentar akan memangkas lebih banyak waktu. Dika memilih untuk tetap mengendarai motor tuanya itu.

Dibukalah handphone tua buatan tahun 2000-an dibuat kaget Dika karena HRD memanggil akan tetapi tidak terangkat alias tidak masuk. Dika langsung bergegas kekantor siapa tahu telat tetapi masih ada waktu satu jam untuk persiapan menuju kekantor.

“Hey Dika, dicari Pak Carmo. Disuruh cepat untuk menghadap.” Sapa penunggu penjaga parkinan pabrik. Keringat dingin mulai membasahi punggung dan degup jantung mulai tidak tertata. Lumayan gugup siang itu. Mengetuk pintu pertanda masuk ruangan, dengan segara menampakan wajah dari balik pintu pak Adi.

Selamat siang, pak ada yang bisa saya bantu?. Tanpa fikir panjang, Pak adi memberikan informasi terkait rencana pemberhentian kerja sementara karena untuk menanggulangi beban biaya pabrik yang terus membludak karena faktor pandemi. Wajah memerah dan nampak memalas sangat tampak dimuka Dika. Tolonglah pak? Jangan pecat saya, saya butuh pekerjaan?. Memohon tetapi ditepis senyuman dan sedikit rasa iba dari Pak Carmo.

Tidak ada pilihan lain mas. Biaya beban tenaga kerja asing kemarin, untuk memperbaiki mesin yang rusak belum lunas dibayarkan. Kami harus lebih efektif dalam memberikan pengeluaran. Bisnis adalah bisinis, asing adalah solusi. Gumam Dika ketika Pak Carmo masih menyampaikan alasannya.

Sesuai kesepakatan terkait kontrakmu, bulan ini sudah selesai. Kedatanganmu hari ini, sekalian sebagai informasinya pemberihentian kerja. Tapi pak? Hari ini saya ada pertemuan untuk kesepakatan kerja dua tahun kedepan. Jangan lupa untuk menutup pintu kembali. Menggenakan blazer biru, dan sebatang cerutu menancap dimulutnya berjalan keluar meninggalkan Dika yang mematung.

Dika langsung kembali menginggalkan pabrik. Tak dihiraukan sama sekali siapa saja yang ada disekitarnya. Ia mencoba untuk menutupi kegalauannya setelah mendapat kabar dari Pak Carmo.

THR dan keluarga lagi-lagi harus benar-benar dipendam dalam-dalam. Minimal informasi lewat handphone saja sudah cukup, daripada pulang malu dan ditanyai tetangga ini itu.

Kopi hitam satu pak. Celetuk Dika di warung Pak Tua. Ya, sebentar. Besok warung tutup, mau pesan apa lagi? Celetuk pak tua sambil melingkarkan serbet dilehernya. Mie dog-dog satu.

Pak Tua melihat kejanggalan wajah Dika yang berubah drastis. Sedikit frustasi dan kadang kosong cara pandangnya. Selama di warung Dika tak mengatakan satu kata pun selain pesan dan membayar. Ia buru-buru pulang ke kontrakan untuk menenengkan fikir dan mengabari orang rumah.

Diambilnya hendphone bututnya dan dipilihlah kontak keluarga dirumah. Berdering tanda panggilan sudah masuk. Halo? Kak?. Ibu ada?. Masih di pasarkak banyak pesanan menjeleng puasa. Syukurlah. Jawab Dika dengan semangat luar biasa.

Dika belum bisa komunikasi dengan ibunya. Akhirnya Dika memberanikan diri untuk menyampaikan kronologi yang sedang terjadi. kata “Maaf” disampaikan berkali-kali oleh Dika untuk adiknya dan berpesan agar secepat mungkin merampungkan kuliahnya dan segera untuk mencari kerja.

Menghidupi diri sepenuhnya adalah realisitis. Mengharapkan kepada negara itu utopis. Begitulah pesan penutup dari Dika untuk menyemangati dan sedikit menyadarkan adiknya yang bercita-cita menjadi Polisi untuk realisitis ditengah ketidakpastian.

M Ghaniey Al Ra