Barangkali kita sering terbelit oleh perasaan cinta. Dengan cinta kita merasakan sebuah kebahagiaan yang tak kepalang membuat hidup jadi lebih berwarna. Acap kali dengan cinta, menganggap diri kita sebagai pemeran utama di dalam sebuah opera. Namun, tak banyak dengan cinta malah merasakan nestapa tak berujung. Erich Fromm seorang ahli jiwa dan filsafat sosial menyuguhkan cara pandang menarik mengenai cinta dan manusia. Adalah Art of Loving (Seni Mencintai), (Penerbit Sinar Harapan, 1982).
Bagi seorang pemula melihat sekilas, buku berkelir hijau tanpa dibumbui oleh karikatur ataupun suguhan gambar menarik, akan memicingkan matanya membaca buku tersebut. Kaver berwarna hijau Masyumi, font judul berwarna biru tua, ditambah guratan puisi gubahan El-Rumi, yang acap kali kurang memanjakan mata, menambah diri dililit oleh perasaan jemu.
Don’t judge the book by the cover, (Jangan menilai buku dari sampulnya), kiranya seperti itu slogan klasik mengingatkan para pembaca agar segan untuk membuka halaman demi halaman untuk menimba makna di setiap kalimat. Namun tak salah bagi para pemula yang memandang buku dari kavernya.
Kali ini, buku Art Of Loving melahirkan istilah baru, Don’t Judge a Book by the Title (Jangan menilai buku dari judulnya). Buku setebal 155 halaman, tak menyuguhkan tips dan trik mencintai. Namun, lebih dari itu! Bukan berarti buku itu enteng dan tak berkesan untuk memandang cinta. Fromm menyuguhkan argumentasi yang mendalam dengan melibatkan perspektif filsafat manusia, membuka kotak tambora mengapa timbul istilah ‘cinta’.
Cinta Menurut Fromm
Baru-baru ini kita dibuat gempar oleh masifnya tingkat perceraian di Indonesia. Dilansir sekitar 516.334 kasus, didominasi pasangan muda berusia 30-40 tahun yang bercerai. Selanjutnya, kasus di tiga tahun terakhir ini, diakibatkan oleh individualisme, dan menurunnya komitmen dua sejoli. Lebih lanjut, mengutip hasil riset Katadata.id jumlah perceraian di Indonesia pasca pandemic mengalami kenaikan yang begitu masif. Sebesar 75% kasus perceraian di Indonesia diajukan oleh pihak istri.
Fromm jebolan Universitas Munchen di Insitusi Psikologi (1925) sudah meramalkan kekacauan-kekcauan seperti itu ketika dua kepala menyatukan diri dalam ikatan cinta. Fromm memandang cinta adalah kekuatan yang aktif di dalam diri manusia; sesuatu kekuatan yang mendobrak tembok yang memisahkan seseorang dengan sesamanya, yang menyatukannya dengan orang lain; cinta membuatnya sanggup mengatasi rasa keterasingan dan keterpisahan, namun cinta mengizinkannya untuk menjadi dirinya sendiri. Dalam cinta terjadi paradoks, yakni bahwa dua makhluk menjadi satu namun tetap tinggal dua. (From, 30).
Dua manusia yang menyatu untuk menjalankan komitmen di bawah cinta, bukanlah perkara yang mudah. Syahdan, fromm dengan berani menyatakan ‘paradoks,’ ketika seseorang mengikatkan diri ke dalam cinta. Setiap kepala memiliki ide dan kebebasan masing-masing. Maka, ketika dua manusia berkomitmen untuk menyatukan diri dalam hal ini adalah cinta, mereka harus berhati lebar mengurangi keegoisan diri dibandingkan kebebasan sewaktu mereka bujang, harus sedikit demi sedikit diminimalisir untuk mempertahankan ikatan dua sejoli.
Untuk mempertahankan bahtera, Fromm mengajak nalar kita agar merenung untuk merenungkan kembali, cinta dan seks. Pandangan Fromm mengenai cinta berbanding terbalik dengan salah satu tokoh penting dalam psikoanalisa yang menggap cinta itu perkara nafsu. Adalah Sigmund Frued. Fromm memiliki pandangan yang berbanding terbalik dengan Freud memandang cinta.
Bagi Freud cinta adalah membayar kegatalan birahi manusia. Hal itu diakibatkan oleh rangsangan kimiawi dalam diri umat manusia sehingga menghasilkan laki-laki dan perempuan menyatu untuk mencapai kepuasan seksual. Fromm menyangkal pandangan Freud sebagai kekeliruan analisa dan kurang mendalam. Tak hanya itu, dalam Contribution of the Three Theory of Sex, Freud menggap patron laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan. (44-45).
Fromm memandang cinta sebagai sebuah aktivitas. Ya, aktivitas. Ia mencirikan ciri aktif aktivitas menjadi nyata dalam beberapa hal antara lain; pengasuhan, tanggung jawab, perhatian dan pengendalian. (Hlm. 35). Bila dua sejoli menyudutkan entitas aktivitas darpada lebih memandang cinta adalah seks, nyatanya tak selamanya kulit yang kencang dan energi muda bisa bertahan lebih lama. Mafhum, waktu akan berbicara dan manusia akan digergoti oleh ketidakmampuan secara fisik dan material.
Buku menarik gubahan Erich Formm menarik untuk dibaca kembali, guna memberikan secercah gambaran bagi umat manusia sebelum menapaki belantara cinta. Tak hanya itu, kasus perceraian yang tengah santer-santernya, derap harap segera teratasi ketika rasionalitas dan kesadaran manusia bisa benar-benar difungsikan dengan membaca gubahan Fromm.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku 'Seseorang di Kaca', Refleksi Perasaan terhadap Orang Terkasih
-
Heboh Beredar Buku Gibran The Next President, Effendi Gazali: Waktunya Terburu-buru, Harusnya Sabar Saja
-
Resensi Novel Lari dari Pesantren: Sebuah Renungan dari Kisah Dua Santri
-
Ulasan Buku Hal-Hal yang Boleh dan Tak Boleh Kulakukan, Kunci Hidup Bahagia
-
Ulasan Novel Hujan Karya Tere Liye: Menemukan Harapan di Tengah Kesedihan
Ulasan
-
4 Toko Kain Lokal Terbaik, Temukan Kain Impianmu di Sini!
-
Ulasan Buku Hal-Hal yang Boleh dan Tak Boleh Kulakukan, Kunci Hidup Bahagia
-
Ulasan Film Raatchasan: Mengungkap Pelaku Pembunuh Berantai Para Remaja
-
Ulasan Buku 'Seseorang di Kaca', Refleksi Perasaan terhadap Orang Terkasih
-
Resensi Novel Lari dari Pesantren: Sebuah Renungan dari Kisah Dua Santri
Terkini
-
Sambut Hari Anak Sedunia PBB, Doyoung NCT Donasi Rp1,1 Miliar ke UNICEF
-
3 Film Korea yang Dibintangi Song Kang Ho, Ada Sporty hingga Mendebarkan
-
Indonesia dan Lunturnya Budaya Malu, dari "Jam Karet" hingga Korupsi
-
4 Tips OOTD Rok ala Zara Adhisty yang Girly Abis, Cocok Buat Hangout!
-
TVXQ Resmi Merilis Album Perayaan Debut 20 Tahun di Jepang Bertajuk 'Zone'