Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ghaniey Al Rasyid
Novel Lapar (DocPribadi/Ghaniey Al Rasyid)

Hidup menaruh banyak cerita. Dengan hidup kita merasakan banyak ajar memaknai bahagia dan sedih yang bergantian silih berganti. Terkadang, kita merasa pada puncak kesabaran. Tekanan yang melebihi batas kapasitas itu memaksa untuk meluapkan emosi berlebihan, tak ayal banyak yang berujung pada tindak yang tidak dinginkan seperti melukai diri sendiri, bunuh diri atau bahkan menyalahkan orang lain.

Dalam mitologi Yunani tersirat sebuah kisah seorang dewa yang dikutuk bernama Sisifus yang harus mendorong batu besar ke puncak gunung. Ia harus bersikeras berjuang menghadapi hidupnya tanpa henti walaupun batu yang amat besar itu harus dihadapi tak tahu sampai kapan itu akan berakhir. Sisifus mengajarkan kita agar tegar dalam menghadapi hidup, tanpa rasa takut sekalipun.

Novel berjudul Lapar menarik untuk dibaca kembali. Novel itu ditulis oleh seorang sastrawan Norwegia bernama Knut Hamsun sebagai nama penanya, sedangkan nama asalnya sebagai Knut Pedersen. Lebih dalam, Knut Hamsun dilahirkan di Gudbransdal, Norwegia Tengah, 4 Agustus 1859 dan menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1952.

Hamsun ditunjuk sebagai Sang Pemula arus sastra modern Eropa dan Dunia. Mafhum karya-karyanya banyak dicari lantaran kualitasnya yang menarik mata siapapun untuk membacanya. Novel lapar (Sult) adalah novel terbaiknya yang pernah diterbitkannya dan kiwari novelnya masih menarik untuk dibaca.

Berkisah tentang tokoh ‘Aku’ yang kudu berjibaku dengan kerasnya dunia, ia benar-benar percaya atas hidupnya menjadi seorang penulis yang tekun, walau aral melintang beberapa kali membuatnya tersandung oleh nestapa tanpa ujung.

Bersandar dengan tulisan, ‘Aku’ tak segan-segan menahan laparnya lantaran karya tulisnya tak laku. Syahdan, ia tetap terus menulis sehingga membuat pepat meja editor majalah kabar di salah satu kota Kristinia, walaupun hanya beberapa biji yang terbit untuk mengganjal perut selama dua hari. Mafhum, tekadnya keras seperti intan, dan semangatnya membara seperti api abadi di dekat tembok kremlin. Layak Knut Hamsun merebut nominasi nobel kesusastraan pada 1920.

Novel itu adalah kisah perjalanan penulisnya sendiri yang berjibaku dengan tulisan sampai akhir hayatnya. Ketika memilih jalan hidup, berarti kita bersiap untuk menanggung segala bentuk resikonya. Ia sempat memilih menjadi tukang penagih hutang namun rasa teganya lebih besar dibanding rasa kasihan. Ia juga pernah mendaftarkan diri sebagi pemadam kebakaran, namun ia ditolak lantaran menggenakan kacamata.

“Pernah aku berusaha melamar pekerjaan sebagai penagih rekening, tetapi datang terlambat. Ya, aku memang takkan tega menagih lima puluh krone. Selalu ada hambatan. Aku pernah coba bergabung ke Dinas Pemadam Kebakaran sekitar lima puluh orang melamar beridir di situ, menonjolkan dada, untuk memberi kesan berani. Namun seorang kapten menggelengkan kepala berujar aku tak bisa diterima lantaran menggunakan kacamata.” (Hlm.5,Yayasan Obor, 2019)

Derita demi derita sudah dirasakan. Tak ada jalan lain selain gigih dan menghadapinya. ‘Aku’ memilih jalan sebagai penulis. Lantaran ia sudah tak memiliki apa-apa selain pensil yang ada di jaketnya dan mengumpulkan kertas-kertas kosong yang berserakan di jalanan. Ia tak memiliki kegentaran apapun, yang ada hanya optimisme yang menyala-nyala. “Aku takkan pernah terpikir untuk menyusahkan orang lain.” (Hlm.21, Yayasan Obor Indonesia, 2019)

Kisah itu mengisahkan pertemuan dan perpisahan. Perjuangan menelisik aras hidup yang serba misteri, membawa ‘Aku’ bertemu dengnan banyak tokoh sepert Ylayali, polisi keamanan yang selalu memandang sinis, dan kepala penerbit yang bosan melihat pepat meja kerja pegawainya dipenuhi oleh tulisan-tulisan ‘Aku’.

“Oh Tuhan, sekarang semuanya seakan-akan menjadi gelap! Aku tidak menangis, aku terlalu letih, tersiksa sampai akhirnya aku duduk di situ tanpa bergerak, lapar sekali. Dadaku yang terasa paling payah, nyeri sekali. Sekarang tak akan gunanya gigiku menggigit keping kayu, rahangku letik oleh karena pekerjaan sia-sia itu. Dan aku membiarkannya rehat dulu.” (Hlm. 122)

‘Aku’ mengajarkan pembaca bagaimana seni bertahan hidup. Bertahan untuk menerima, mengolah dan memaknai hidup secara berani. Syahdan, sebagai manusia dengan segala keterbatasannya umpatan hingga tangisan sering muncul tersirat begitu jelas dari hari ke hari. Namun, gejala itu sirna digantikan oleh penguasaan diri yang amat mantap, memaknai lapar, pertaruhan dan impian.

Buku itu  tak hanya refleksi seorang yang memilih jadi penulis. Namun, galibnya menggambarkan bagaimana manusia kudu merasakan derita untuk menjemput bahagia yang dijanjikan oleh waktu.

Ghaniey Al Rasyid