Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Eko Saputra
Ilustrasi merenung (pixabay).

Malam masih saja menyisakan misterinya ketika seseorang duduk memandang purnama dari balik jendela tua pukul tiga .

Dia masih bertanya-tanya apakah malam hanya berujung pagi dan benarkah hidup hanya seperti ini.

Apakah manusia hidup hanya untuk mati, lalu diganti manusia lain seperti bulan yang terbit lalu tenggelam digantikan surya, dan seterusnya begitu dan sungguh membosankan 

Apakah jam dinding yang sejak tadi menunggunya lelap tak pernah jemu berputar-putar menemani orang-orang yang tidak mengerti mengapa ia harus berputar.

Sementara purnama di luar juga tak bisa menjawab tanda tanya yang ditanyakan seseorang yang masih saja duduk di balik jendela tua sejak pukul tiga.

Dan hening semakin sepi ketika suara belum menjawab tanya seseorang itu tentang mengapa gelap malam diciptakan untuk sebuah kejahatan, dan terang siang dihadirkan untuk sejuta kebohongan .

Dan sepi semakin sunyi ketika udara tetap diam mendengar tanya seseorang itu tentang mengapa tak ada orang mati yang kembali hidup untuk menceritakan bagaimana rupa malaikat yang menyiksanya dan mengapa Tuhan enggan menampakkan diri agar orang percaya Dia ada.

Dan sunyi semakin bisu ketika hampa masih tak bersuara atas tanya seseorang itu, tentang mengapa sejarah hanya dijadikan dongeng dan masa depan dianggap mimpi.  

Dan bisu menjadi tiada ketika purnama menjelma surya di ujung timur sana lalu seseorang itu menutup jendela tua dan bangkit dari kursinya, dan ingin tidur sampai malam kembali menyapa.  

Lalu nanti ketika malam tiba, seseorang itu akan duduk kembali di balik jendelanya yang semakin tua pada pukul tiga, untuk sekali lagi bertanya pada siapa saja yang ada tentang mengapa dia masih saja bertanya-tanya. Sampai nanti ketika ia tiada.  

Pekanbaru, 2019 

Eko Saputra