Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | M Ghaniey Al Ra
Ilustrasi -- Warung Kopi Merapi di Cangkringan. (Guideku/Arendya)

Suara lolongan anjing dan gemertak warung kopi membuat suasana sore itu menjadi lebih bising. Rahab bersama teman-temannya sedang menikmati rokok dan secangkir kopi robusta hitam yang ujung cangkirnya sedikit retak.

Ia terus melihat seisi ruangan warung yang kian hari kian sepi, karena pandemi belum juga usai. Wajah kusut dan murung terlihat dari mimik para pegawai. Bising warung terdengar karena mesin penggiling kopi masih tetap mengolah kopi-kopinya.

Di samping ramah tamah para pegawai menyambut Rahab menikmati kopinya, mereka juga iri. Iri akan hidup Rahab dan kawan-kawan yang enjoy dan tak tertekan, walau hidup di tengah pandemi.

Hidup seperti dua keping mata uang, selalu ada sisi dan maksud lain setiap goresannya. Rahab menghirup dalam-dalam rokoknya yang membakar hampir seluruh batang. Rasa panas ditelunjuk Rahab, memaksa mematikan rokok di sisi kanan asbak.

Temannya bersiul riang kala melihat lenggok tubuh pemudi memasuki warung kopi. Orang-orang melek gender pasti akan memukul mulut temannya karena dianggap tak sopan. Sudahlah, otaknya sudah buram. Renung pengunjung di pojok ruangan yang juga merokok.

Pandemi ini pemasukan pedagang dan orang-orang cilik tercekik, kecuali abdi oligarki yang masih dikucuri uang tiap bulan. Kalau dalam kacamata ekonomi, orang-orang itulah yang harus sedikit boros di tengah krisis agar bisa lebih sosialis, begitulah harapannya.

Kebetulan Rahab dan teman-temannya anak seorang pejabat di kotanya. Setiap malam, ia meluangkan waktu ngobrol dan memasukan asap tembakau ke dalam paru-parunya untuk memuaskan rasa candu.

Suara panci berdenting, koki menyiapkan pesanan kepada nona yang memesan nasi goreng dengan jeroan anjing. Aromanya menusuk hidung Rahab sehingga membuat gemuruk perutnya tak terbendung.

Joi penuh dengan tekanan merenungi apa yang sedang teman-temannya lakukan. Tanpa beban, mereka semua bisa tertawa bebas dibandingkan bocah di luar ruangan yang sedang memegang perut mungilnya, dan bercak berak di celana karena sakit. Pikir Joi.

Joi hanya bisa menyimpan sendiri, tak mungkin temannya berpikir keras memikirkan apa yang dalam pikirannya. Mereka sudah gelap dan tertutup.

Wor bercerita kesuksesan bisnis yang tengah ia lakoni. Rahangnya bergoyang ketika membicarakan kesuksesan. Ia sedikit menyindir beberapa temannya yang masih nganggur, padahal sudah dapat gelar sarjana.

Joi melihat gerak gerik temannya itu, kekayaan membalut seluruh tubuh Wor. Gemerlap emas di lehernya yang terbuat dari emas, sebagai pertanda kesuksesan yang sedang dirasakannya kadang membuat iri teman-temannya.

Di tengah pandemi dan krisis yang merusak perekonomian, teman-teman Joi kecuali Wor sebenarnya sedang kalang kabut untuk hidup. Tetapi, mereka masih saja duduk dan bercengkrama di warung kopi kesukaan mereka.

Di Kota hanya beberapa saja yang membuka warung kopi ketika pandemi. Hampir tujuh puluh persen warung kopi tutup karena tak kuat membayar beban pajak, pembayaran lain yang semakin membuat penguasaha bangkrut. Untung saja, ada warung kopi yang bisa ditinggali temannya itu, untuk berpesta di tengah kesengsaraan.

Berbicara soal moral, terkadang akan membuat iri rakyat yang kelaparan dan susah untuk berjuang hidup di tengah pandemi. Joi melihat segerombolan orang tua duduk pasrah di bawah terik matahari yang membuat merah hidungnya. Sambil memakai jas hitam dan tas berwarna putih, Joi melihat lelaki paruh baya menangis tak tau apa penyebabnya. Pikir Joi, Ia dipukul tekanan mental yang membuatnya hampir gila.

Efek dari pandemi memang luar biasa. Beberapa penguasa gulung tikar dan manusia yang bergantung pada pabrik-pabrik hampir mampus, karena gaji tak sebanding dengan keringat yang membasahi pakaiannya. Joi berpikir, negeri ini sedang payah-payahnya agar bisa dapat sesuap nasi.

Brak! Rahab memukul meja karena jenuh dengan tingkah kawan-kawannya yang tak mau berbicara karena asik dengan gadget mereka. Mata melotot, dan mulutnya yang menggigit rokok. Kawannya malah tertawa karena mirip dengan tokoh joker dengan rambut panjangnya. Kawannya hanya meringis tertawa dan Joe hanya melirik sini karena seperti bocah kecil.

“Woi, ngobrol ngapa? Kagak diam bae?” Rahab nyeletuk dengan nada tinggi.

“Lo, cari topik! Nanti aku jawab,” tanggap Wor dengan santai, membuat kawannya semakin meringis kegirangan.

“Nganggur kagak ada kerjaan. Kasih kerjaan gue Wor," sambil mematikan rokok di asbak, Rahab membuka perbincangan.

“Lo, sarjana minta kerja sama pengangguran?” ejek Wor dengan santainya. Teman-temannya pun tertarik pada perbincangan itu dan meletakan gadgetnya masing-masing.

Pandemi yang semakin menjadi, sektor pendidikan kalang kabut untuk mendidik dan memberikan output terbaik bagi siswa-siswinya. Sarjana banyak yang nganggur. Siswa sekolah dasar sampai menengah banyak yang frustasi karena tak bisa paham terkait apa yang disampaikan gurunya, dan kikuk dalam masalah teknologi.

Ibu rumah tangga yang juga punya kesibukan untuk bertarung dalam dunia kerja, berbondong-bondong mencari pekerjaan untuk membantu suaminya terpontang-panting kondisi.

“Sudah-sudah kita cari topik lain,” salah satu dari mereka memotong pembicaraan, karena tak kuat menanggung realita.

Kala cowok bertemu di warung kopi, banyak sekali yang akan jadi topik pembicaraan. Mulai dari bahas berita terkini, hingga membahas asmara, walaupun mereka semua jomblo. Begitulah kebiasaan yang dilakukakn Rehab dan kawan-kawan di warung kopi.

Joi masih merenung dengan diskusi yang baru saja berlalu. Ia pengamat dan perenung tajam. Ia masih saja merenung hingga mukanya seperti patung pemikir di buku-buku pengantar filsafat.

Bagi Joi, kawan-kawannya ini hanya jago melantur. Tak bisa tau dengan nyata apa yang sedang terjadi di lapangan. “Maklum orang tua mereka anggota dewan semua,” Renung Joi dan melihat sini teman-temannya.

Joi sebenarnya merasa tertekan kala bergaul dengan kawan-kawannya yang kaya. Hidupnya sudah aman dan selalu kenyang walaupun pandemi menerjang negeri ini.

Nongkrong di warung kopi sudah menjadi hal biasa di kota-kota besar. Walaupun, penguasa memberi rambu agar tak nongkrong dan berkerumunan.

Itu semua akan ditolak, karena bagi mereka, berkumpul di warung kopi adalah hal yang wajar dan wajib. Hari semakin gelap, Joi berkemas untuk pulang, meninggalkan teman-temannya yang masih asik.

M Ghaniey Al Ra