Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Rico Andreano
ilustrasi hati nurani yang mati (pixabay.com)

Manusia-manusia yang saling mementingkan masing-masing kehidupannya sendiri-sendiri yang seolah sudah hilang rasa kepekaan pada kehidupan orang-orang di sekitarnya. Masa bodoh dengan nasib orang-orang di sekitarnya.

Kehidupan penuh kebencian membabi buta dengan saling membunuh dan menikam dari belakang satu sama lain tanpa kenal siapapun yang mereka hadapi. Ilusi topeng kedamaian dan ketentraman hanya sebuah kotoran yang menghiasi kehidupan ini.

Saling berlomba siapa yang paling kuat dan hebat antar sesamanya dengan keangkuhan yang mencekik segala kenikmatan yang masing-masing dimiliki. Jendela-jendela rasa welas asih sudah tertutup rapat-rapat.

Demi perut mereka saling sikut-menyikut satu sama lain demi kepuasan diri yang tak pernah habis. Kebejatan alam kehidupan semakin tak karuan dalam suasana kerapuhan rasa peduli kepada sesama.

Nurani yang tertancap dalam diri masing-masing dari mereka hanyalah sebuah kata bak pepesan kosong yang hanya sebuah enam kata yang sudah tak ada artinya apa-apa lagi.

Tiada kenal nurani dalam sebuah busuknya kehidupan ini. Ilusi kehidupan penuh kebohongan sejati dengan polesan wajah-wajah sedemikian rupa berhias sebuah pencitraan semu penuh kebusukan dan kebejatan perangainya yang seolah-seolah seperti malaikat.

Nasib orang lemah dalam kendali nafsu atas setan-setan pencoleng kemakmuran rakyat yang tak pernah puas merampas segala hak-hak orang lemah. Kumpulan setan-setan pencoleng berperikehewanan tanpa kenal ampun membunuh secara perlahan orang lemah.

Entahlah kehidupan kemana arah berpijaknya pada keberpihakan terhadap orang lemah. Kedustaan kehidupan di dunia yang sangat kejamnya menindas segala nurani terpatri dengan segala ketamakan yang dimiliki manusia.

Durjana manusia yang tanpa disadari sebuah bertopengkan kehinaan yang sangat tinggi berbanding dengan seekor binatang liar berkelana kemana-mana tanpa berbekal arah yang jelas.

Rico Andreano