Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Rico Andreano
ilustrasi penjara (pixabay.com)

Berhias alam jeruji besi penuh berjejal para pesakitan yang memenuhi ruangan sempit. Ruangan sempit hanya berventilasi kecil. Di situlah aku merasakan sebagai seorang pesakitan.

Penuh hiasan kehinaan yang melekat pada diriku. Raga berbalut kedurjanaan yang menemani sepanjang kehidupan. Berhias ganasnya sipir bertingkah perikehewanan tanpa kenal rasa perikemanusiaan setitikpun.

Gertakan sepanjang hari kian terlontar dari keganasan sang sipir. Angkara murkanya sipir terhampar penuh menggelegar batin. Pintu-pintu jeruji besi yang sangat kuat takkan bisa dijebol oleh pesakitan lainnya.

Pintu jeruji besi berwarna hitam tegak berdiri dalam kokohnya. Segala tingkah para pesakitan di jeruji besi tak lepas dari amatan mata sipir. Merasakan raganya seorang pesakitan penuh penyiksaan batin sepanjang alam hidupku.

Terkungkung dalam pesakitan hanya berada dalam sebuah rumah yang sangat tak manusiawi. Tingkah iblis yang kulakukan dengan merampok harta orang yang papa pada gelapnya masa lalu. Kenangan gelap berselimut suasana raga yang hampir mati karena kelaparan.

Karena kelaparan membuat jiwa semakin ganas dan gelap mata. Gelap mata merampok harta orang yang papa sangat tiada daya apa-apa. Masa lampau sangat gelap hanyalah masa lampau.

Kulepas jauh-jauh masa lampau sangat gelap berhias alam tingkah kesetanan penuh kehewanan tanpa ada ampun setitikpun. Kini aku menatap kehidupan penuh kecerahan dengan kesempurnaan pribadi.

Kuharap uluran tangan kasih Tuhan selalu menemani dan mendekapku. Dekapan kasih-Nya yang takkan pernah terputus bersama jiwa. Kusadari jiwa ini penuh gundukan kenistaan yang teramat serendah-rendahnya harkat dan derajat.

Rendahnya derajatku di pandangan orang. Seberkas cahaya ampunan dan pertolongan Tuhan sangat kunantikan dalam pahitnya kehidupan yang kujalani. Kehidupan sebagai pesakitan yang tengah kuhadapi setiap waktu berjalan tanpa hentinya. 

Rico Andreano