Tepat tanggal 15 di hari minggu, sinar bulan purnama terpancar dikelilingi kegelapan. Tidak ada kata istirahat, malah kehidupan semakin aktif menjadi-jadi. Nampak gadis berkulit kuning langsat, duduk seorang diri di sebuah sofa di dalam lobby.
Rambut sepunggung yang terurai sesekali menutupi wajah cantiknya. Ia tarik barang beberapa helai rambut ke belakang daun telinga. Dilihatnya jam tangan bermerek Rolex berwarna emas bertabur swarowsky. Arah jarum berwarna silver menunjukkan pukul 22:30 WIB. Arah matanya berpindah menuju pintu masuk yang menganga.
Alice raih handphone layar sentuh berbalut case motif bunga di dalam tas yang terparkir di sebuah meja kaca. Ia geser layar ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Pandangannya kembali menuju pintu masuk.
Terlihat seorang pria berusia empat puluh tahunan berkemeja biru hadir menghampiri. Tanpa basa basi, Alice beranjak dan mengekor di balik badan pria itu. Mereka berdua menghilang ke dalam kamar bernomor tiga puluh satu. Seiring dengan semakin larutnya keheningan malam beradu.
Sinar mentari menyelinap di antara kain penutup jendela yang masih mengembang. Alice terperanjat, ia mengangkat tubuhnya yang hanya berbalut selimut melawan gravitasi. Ia tengok laki-laki bertubuh tambun masih terlelap di atas kasur empuk bersprei coklat.
Ia tersadar bahwa telah lupa menyalakan alarm dan memilih untuk terlelap dalam kegelapan. Berlarilah ia ke dalam kamar mandi berkeramik putih. Bergegas ia memakai kemeja hijau muda dan celana jeans.
Menempelkan bedak ala kadarnya dan mengoles lipstick berwarna merah muda di atas bibir mungilnya. Ia tidak memperdulikan pria yang menemani malamnya. Diambillah kunci mobil di atas meja dan segera keluar dari kamar kelas eksekutif itu.
Seperti biasa, Alice seorang diri mengendarai mobil merah menuju kampus yang ditempuh kira-kira selama 40 menit dari pusat kota. Kali ini ia beruntung, tidak menghadapi hiruk pikuk kemacetan perkotaan.
Ia keluar dari mobil yang terparkir rapi dan berlari menuju sebuah ruangan di lantai dua. Dewi fortuna sedang berpihak kepadanya, nampak muda mudi asyik bersenda gurau. Ia tengok kursi dan meja yang berdiri kokoh di depan papan tulis putih. Nampak kosong belum berpenghuni.
Ia berlari kecil dan segera menyenderkan punggungnya di sebuah kursi yang berada di sudut sebelah kiri. Seorang wanita berkerudung merah maroon menyapanya, “kebiasaan banget sih kamu Lice, telat mulu”. “Iya nih, sorry sorry, aku lupa gak ngehidupin alarm”, Alice menimpali dengan nafas yang masih tersendat.
Alice adalah anak seorang pejabat kaya raya di kotanya. Ia merupakan anak semata wayang. Saat ini ia berkuliah di sebuah perguruan tinggi ternama, mengambil jurusan Hubungan Internasional.
Papanya seringkali dinas ke luar kota bahkan luar negeri. Sedangkan mamanya lebih banyak berada di Perancis untuk mengelola bisnis tas-tas mahal bermerek. Alice menempati rumah mewah berlantai tiga yang hampir satu hektar luasnya. Ia tinggal berempat bersama dua orang pembantu dan satu orang satpam.
Sebagai anak dari keluarga kaya, Alice jauh dari perangai sombong. Ia sangat ramah bahkan sering membantu teman-temannya yang memiliki permasalahan ekonomi. Teman-temannya sering berkunjung ke rumah Alice yang mewah untuk mengerjakan tugas kelompok. Atau hanya sekadar membuat suasana rumah menjadi ramai. Dibalik sikap ramahnya, ternyata Alice sangat cuek kepada teman lelakinya.
Jangan ditanya ada berapa pria yang mendekati. Namun semuanya mundur karena sikap tak acuh Alice. Dan tersadar setelah mengetahui bahwa Alice berasal dari keluarga berada. Terkecuali Dio, ia sangat kekeuh memperjuangkan cintanya kepada Alice. Walaupun gayung tidak bersambut tetapi gelora cinta tetap membara.
Dio juga merupakan anak orang kaya. Ayahnya seorang pengusaha villa di berbagai kota di Indonesia. Tetapi jika dibandingkan, jumlah harta Dio tidak setara dengan kekayaan Alice. Namun sosok pria berusia dua puluh tahun dengan badan standar dan wajah blasteran itu terkenal pintar. Ia pernah memperoleh IPK 4, bahkan digadang-gadang menjadi perwakilan mahasiswa berprestasi di jurusannya. Dengan segala kelebihan itu, Dio belum bisa menggetarkan hati Alice.
Saat berusaha mengembalikan ritme udara yang keluar masuk dari lubang hidungnya. Ingatannya kembali kepada masa-masa saat papa dan mamanya di rumah. Menyalakan TV, bersenda gurau dan berkeluh kesah.
Ditemani teh hijau hangat dan sepiring brownies kesukaannya. Lamunannya terus menggelayuti hingga ia tidak menyadari bahwa wanita paruh baya berkacamata telah mengucapkan salam penutup.
Sudah empat puluh lima menit lamanya, Alice harus termenung. Telinganya terpaksa harus menyerap ceramah terkait materi politik luar negeri dan diplomasi. Belum dua menit kelas usai, handphone Alice yang bermerek salah satu jenis buah-buahan berdering. Seketika ia berusaha keluar dari dalam ruangan. Sambil matanya melirik ke arah pria yang sedang asyik menatap layar handphone, yaitu Dio.
“Maaf ya nak, papa harus nambah seminggu di Australia”, seru suara laki-laki dari balik handphone. Alice tidak mengucapkan sepatah dua kata pun. Tanpa pikir panjang, ia menutup telepon itu. “Ayo Alice, ini sudah biasa, ngapain kamu bersedih”, berusaha menguatkan hatinya. Ia tersentak saat melihat sebuah notifikasi pesan muncul. Pesan yang mengingatkan bahwa ia akan bersenang-senang seminggu lagi.
Waktu libur semester telah tiba. Ia sudah merencanakan liburan ke Bali jauh-jauh hari. Sebuah kemustahilan apabila berlibur bersama papa dan mamanya. Namun ia menikmati semilir angin pantai bersama sosok pria yang telah ia anggap papa sekaligus kekasih.
Pak Adi, yang tidak lain dan tidak bukan adalah rekan kerja Papa Alice. Kasih sayang yang selama ini tidak ia peroleh dari sebuah keluarga. Justru hangatnya cinta ia dapatkan dari Pak Adi. Ia tidak mengejar harta, kekayaan yang berasal dari warisan orang tuanya tidak akan habis hingga tujuh turunan. Setidaknya perasaan Alice kembali membaik apabila berada di sisi Pak Adi.
Terik matahari, dempuran ombak menghantam karang dan halusnya pasir putih begitu dinikmati para turis mancanegara. Begitu pula dengan yang dirasakan Alice. Hingga ia menyandarkan kepalanya di bahu sebelah kiri sosok pria yang begitu dicintainya.
Kebahagiaan sederhana yang didambakan sejak dahulu. Semilir angin yang terus menerjang tubuhnya hingga ia tidak sadar. Ada pemuda dari sebelah kiri dengan jarak kurang lebih 100 meter sedang mengamatinya.
Dio juga sedang berlibur di Bali. Melihat sosok Alice yang sedang berduaan dengan pria yang lebih pantas dianggap sebagai ayah. Membuat Dio serasa tertimpa gajah. Perasaan cintanya yang pada akhirnya membawanya untuk berani mendekat.
“Alice”, sapa Dio dengan wajah keheranan. Alice nampak terkejut tetapi ia tidak beranjak dari alas kain di atas pasir. “Sudahlah Dio, menyerahlah saja”, jawab Alice dengan santai tanpa perasaan bersalah. Dio hanya mematung seraya pandangan Alice kembali mengamati birunya langit.
Baca Juga
-
Bekerja sebagai Quality Control, Harus Mengenal Training GMP dan HACCP
-
Bukan Hanya Soal Kedewasaan, 5 Alasan Sebaiknya Jangan Sering Update Status
-
Hidup Semakin Hemat, 5 Peralatan yang Wajib Dimiliki Anak Kos
-
Sebelum Kuliah, Ketahui 4 Jenis Tugas yang Biasa Dikerjakan Mahasiswa
-
5 Buku yang Wajib Kamu Baca Ketika Memasuki Fase Quarter Life Crisis
Artikel Terkait
-
Potret Kana Sybilla Bramantyo Lolos 20 Besar Gadis Sampul 2024: Ikuti Jejak Zaskia Adya Mecca di Dunia Modeling
-
Intip Kemeriahan Kampanye Akbar Terakhir Pramono-Rano
-
Anak Abah dan Ahoker Dukung Pramono-Rano, Ahok: Negara Lebih Penting dari Ras dan Agama
-
Ahok Datang, Anies Baswedan Absen Kampanye Akbar Pramono-Rano
-
Kampanye Akbar Pramono-Rano, Ahok Lambaikan Tangan di Atas Panggung
Sastra
Terkini
-
Shin Tae-yong Pastikan Timnas Indonesia Pasang Target Tinggi di AFF 2024
-
Jadi Dokter Hewan, Ini Detail Karakter Na In Woo di Drakor Motel California
-
3 Lawan Terkuat Dihadapi Bajak Laut Rambut Merah di Final Saga One Piece
-
Memeluk Pikiran yang Berkecamuk dalam Lagu Taeyon Letter to Myself
-
Shin Tae-yong Sebut Marselino Ferdinan Bisa seperti Son Heung-min