Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Mohammad
Ilustrasi Penjara. (Pexels.com/Isabella Mendes)

Plasss.... plasss... “Sudah dibilangin, jangan bermain sama mereka! Mereka itu anak-anak nakal, kamu bisa ketularan nanti!”. Tamparan itu begitu panas di pipiku, sementara teriakan itu sangat berhasil merobohkan nuraniku.

Aku ingin menangis, tapi tak bisa. Karena aku tahu jika aku menangis, tamparan dan teriakan itu akan semakin deras menghujaniku. Aku diam, berpura-pura mendengarkan. Selepas semua ritual itu selesai, aku langsung menuju kamarku. Hanya itu tempat yang bisa kutuju.

Sialnya, kamarku hanya ditutupi tabir kain, bukan pintu yang terbuat dari kayu. Aku tak bisa sama sekali untuk sekadar meneteskan air mataku. Kecuali dengan satu cara, tengkurap.

Ya, hanya itu yang bisa kulakukan supaya aku bisa meluapkan emosiku. Tengkurap dan wajah ditutup bantal, dengan begitu aku bisa menangis sampai ketiduran. Dua jam berlalu sudah, saat aku bangun aku merasa sangat lega karena emosiku telah kuluapkan, meskipun harus dengan cara sembunyi-sembunyi.

Malam harinya, selepas menyelesaikan PR, aku termenung mengingat kejadian siang tadi. Lagi-lagi aku ingin menangis, tapi air mataku kutahan agar tak jatuh. Aku menarik napas dalam, lalu mengambil kertas dan pensil.

Entah bagaimana tanganku bisa bergerak sendiri, membuat pola sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran dan nuraniku. Satu jam sudah aku menggores dan menghapus di atas kertas, hingga jadilah ilustrasi itu. Ya, ilustrasi yang merupakan wujud dari apa yang kurasakan.

Aku merasa sangat mengantuk, kusimpan ilustrasi tersebut agar orang di rumah tak ada yang mengetahuinya. Aku cukup bingung mencari tempat yang aman. Jika kutaruh di bawah kasur, bagaimana nanti jika suatu saat kasur itu diangkat untuk dibersihkan?

Tidak, menyimpan di bawah kasur jelas ide yang buruk. Jika kutaruh di dalam tas? Tidak, itu ide yang lebih buruk. Ibuku selalu menggeledah tasku setiap harientah apa tujuannya padahal aku tak pernah membawa apa pun yang mencurigakan.

Sudah 15 menit berlalu dan aku masih belum menemukan tempat yang tepat untuk menyembunyikannya. Harus kuletakkan di mana ilustrasi ini?

Kafa! Kenapa belum tidur jam segini!?”, ibuku meneriakiku dari luar kamar. Dia bisa mengetahui aku belum tidur dari sorot lampu kamarku yang masih menyala dan terlihat jelas dari luar. Aku tak menjawab, lampu kamar langsung kumatikan, tapi aku belum tidur. Aku berdiam diri, berusaha agar tak menimbulkan suara apa pun. Sejenak kemudian terdengar langkah yang mulai menjauh dari kamarku.

Aku melanjutkan kesibukanku mencari tempat menyembunyikan ilustrasiku, tapi kali ini aku melakukannya dengan sangat hati-hati agar aku tak ketahuan bahwa aku belum tidur.

Akan jadi sangat runyam bila aku ketahuan belum tidur. Karena masih belum menemukan tempat yang tepat, aku mulai lelah sendiri. Kududukkan diriku di atas kasur, kejadian siang tadi kembali menghampiri pikiranku. Kejadian yang tak hanya memberi luka fisik tapi juga batin. Lagi dan lagi, aku sangat ingin menangis.

Guna meringankan beban itu, aku merebahkan badan. Entah kapan aku terlelap, tiba-tiba alamrku sudah berbunyi. Aku teringat dengan ilustrasiku semalam, tapi ia tak ada dalam genggamanku.

Kejadian ini membuat alur napasku tak seperti yang biasanya, ia jadi lebih cepat. Detak jantungku juga bertambah cepat saat pikiranku teringat jika aku tidak segera keluar kamar, aku akan dimarahi habis-habisan. Kutarik napas dalam, setelah itu bergegas keluar kamar. Mengambil air wudlu, lalu shalat shubuh.

Selepas shalat shubuh, aku memperhatikan kamarku dengan saksama. Masih tak ada petunjuk apa pun tentang ilustrasi itu. Aku kemudian melanjutkan aktivitasku, membersihkan halaman, sarapan, mandi, dan bersiap pergi ke sekolah.

Seperti biasa, sebelum aku berangkat ibu selalu mengecek isi tasku terlebih dahulu. Dan seperti biasa pula, aku selalu lolos melewatinya. Mau tidak lolos bagaimana, orang aku juga tak pernah membawa sesuatu yang mencurigakan dalam tasku. Aku pun berangkat sekolah.

Dalam perjalanan aku masih memikirkan di mana ilustrasiku semalam. Aku terus memutar ulang kronologi malam tadi dalam renunganku selama di perjalan, tapi tak ada satu pun petunjuk tentang keberadaannya.

Saat aku tiba di kelas, belum ada siapa pun di sana. Aku kembali mengingat-ingat. Sekeras apa pun aku menerka, percuma saja. Tak ada sedikit pun petunjuk tentang ilustrasiku. Aku menarik napas kecewa.

Jam telah menunjukkan pukul 2 siang, bel pulang dibunyikan. Seluruh sekolah menutup kegiatan belajar-mengajar dengan bacaan hamdalah. Kemudian, seperti yang diketahui bersama, para murid berbondong-bondong menuju rumahnya masing-masing.

Entahlah! Nampaknya bagi kebanyakan murid sekolah adalah tempat yang tidak menyenangkan sehingga mereka selalu buru-buru meninggalkannya. Saat aku hendak meninggalkan kelas, tiba-tiba langkahku dihentikan oleh Imam.

Aku tahu Imam bukan orang yang neko-neko. Kemungkinan besar niatnya menghentikanku bukan untuk menodong apalagi mem-bully.

Tunggu sebentar, Fa!

Iya, ada apa, Mam?

Aku boleh pinjam buku catatan Fisikamu? Ada sebagian materi yang belum sempat kucatat soalnya keburu dihapus.

Oh... Bentar!”. Aku membuka tas, mencari buku catatan Fisika dalam tumpukan buku-buku yang ada dalam tasku. “Ini, Mam!”, kuberikan padanya.

Oke, Fa! Makasih banyak, ya! Esok pasti langsung aku kembalikan.

Sama-sama, Mam! Aku duluan ya!?

Oke, hati-hati!

Aku harus bergegas ke rumah. Tak ada waktu untuk sekadar membeli air minum apalagi becengkerama lama dengan teman-teman. Sebab, bila aku terlambat sampai di rumah lebih dari setengah jam, aku akan bertemu dengan hukuman dan teriakan.

 Dahulu, aku pernah mengalaminya. Telat sampai di rumah hingga lebih setengah jam. Saat itu aku mampir membeli makanan ringan bersama teman-temanku. Guru kami mengajarkan supaya jangan makan sambil berdiri apalagi berjalan.

Kami semua pun memutuskan untuk duduk sejenak di warung tersebut, menghabiskan makanan ringan kami. Setelah semua habis, kami melanjutkan perjalanan pulang. Satu per satu kami mulai berpisah menuju rumah masing-masing, dan aku adalah orang yang pertama berpisah dari rombongan karena memang rumahku yang paling dekat.

Tanpa kuduga, saat aku mengucapkan salam lantas membuka pintu, ibuku telah berdiri menanti. Dari ekspresinya sudah sangat jelas jika ia sedang marah. Aku yang baru saja datang dari lelahnya bersekolah tak tahu apa-apa dan belum siap diapa-apakan.

Pintu ditutupnya dengan keras dan ia berteriak, “Kamu ini dari mana saja!? Nggak lihat apa sekarang jam berapa?”. Tanpa mendengar penjelasanku terlebih dahulu, mendadak sapu lidi dilayangkan di punggungku.

Menerima serangan tak terduga, aku refleks berteriak. Namun nahas! Lidi-lidi yang terikat kuat itu kembali menghantam punggungku, bahkan lebih keras. Menyadari hal tersebut, aku tak berteriak lagi.

Cepat ganti baju! Besok-besok awas kalau telat pulang lagi!”. Mengingat kejadian itu aku mempercepat lajuku, berharap semoga waktu berjalan lebih lambat sehingga aku bisa selamat. Bila ada yang bertanya lebih berapa jamkah saat pulang waktu itu sampai-sampai mendapat hal demikian. Jawabannya bukan jam, tapi menit. Waktu itu, aku hanya terlambat 5 menit.

Kejadian itu menyisakan trauma yang cukup dalam bagiku. Oleh sebab itu, hari ini aku bergegas pulang. Tak hanya hari ini, kemarin-kemarin pun sama, begitu juga dengan hari-hari esok. Aku akan selalu bergegas pulang sambil senantiasa berdoa agar aku tak terlambat sampai di rumah lebih dari setengah jam.

Setelah cukup keras aku berusaha menambah kecepatan, akhirnya aku samapi di rumah dan aku sangat bersyukur tidak sampai terlambat. Aku mengucapkan salam, menaruh sepatu di tempatnya, lalu bergegas ke kamar sebab aku teringat dengan ilustrasiku yang tak ada wujudnya hingga sekarang.

Aku mencari di setiap sudut, membuka lembari, menyejajarkan semua yang nampak bertumpuk. Namun, semua itu tetap saja nihil. Tak ada jejak-jejak ilustrasiku semalam. Aku takut jika ia ditemukan oleh orang tuaku, bisa-bisa benda yang lebih besar dari sapu lidi akan menghampiriku.

Di tengah kegamangan, tiba-tiba fokusku teralihkan oleh suara dari luar. Suara yang terdengar menunjukkan kebahagiaan yang tulus, suara dari teman-temanku yang sedang asyik bermain bersama.

Aku ingin sedikit mengobati kelelahan dan kegamanganku dengan menyusul mereka. Saat aku baru saja keluar dari pintu rumah, terdengar suara yang lain. Kali ini bukan suara yang menunjukkan kebahagiaan melainkan suara yang merepresentasikan amarah.

Mau ke mana kamu, Kafa?

Mau main sama teman-teman.

Jadi ternyata tamparan kemarin belum membuatmu kapok!?. Masuk ke rumah lagi! Atau kamu akan mendapatkan yang lebih daripada yang kemarin.

Mendengar ancaman tersebut, aku langsung berlari kembali menuju kamar, melewati ibu yang baru saja mengancamku. Dari jendela kamar, aku melihat teman-temanku yang sedang bermain. Mereka nampak begitu riang, tanpa beban juga ketakutan. Semakin lama aku melihat mereka, semakin air mataku memaksa diri untuk jatuh.

Dalam hati, aku memprotes Dzat Yang Maha Mengatur Alam Semesta. “Mengapa aku Kau tempatkan dalam lingkungan yang penuh ketidakadilan ini, ya Allah!?. Apa salahku hingga Engkau berbuat demikian padaku?”.

Tak ada jawaban apa pun. Aku terus menangis sambil membisukan suaranya agar tak terdengarseperti yang sebelumnya. Selesai menangis, aku duduk terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Aku bahkan seolah sudah tak peduli dengan keberadaan ilustrasiku yang entah di mana.

Pikiranku masih memutar balik semua kejadian-kejadian menyakitkan itu, nuraniku terasa semakin perih. Sejenak kemudian mereka berdua terdiam, rasanya mereka sedang berdiskusi. Akhirnya mereka sepakat untuk menuntunku supaya aku meluapkan emosi ke dalam gambar.

Mereka berdua tentu sangat tahu jika aku suka menggambar, jadi tak heran bila aku dituntun padanya. Aku menuruti mereka tanpa perlawanan apa pun, tanganku bergerak entah bagaimana. Ya, persis seperti saat aku menggambar ilustrasiku yang hilang.

Menggambar, hanya itu satu-satunya pelarianku saat aku kesepian dan merasa hidup ini sangat tidak adil. Dengan menggambar, aku merasa masalahku jadi sedikit ringan. Selepas menggambar, aku sejenak melihat hasilnya. Menikmati buah kerja kerasku. Namun, entah mengapa emosi dari gambar ini kurang terasa jika dibandingkan dengan ilustrasiku yang kemarin. Tapi tak mengapa, setidaknya melalui hasil karyaku ini aku tahu bahwa pelarianku tak merugikan masyarakat serta diriku sendiri.

Esok paginya, saat baru bangun, aku tak mencari-cari hasil karyaku seperti sebelumnya. Sebab, aku tahu bahwa ia sudah rapi kudiamkan di dalam tas. Setelah menyelesaikan seluruh aktivitas pagiku, seperti biasa aku langsung menuju sekolah.

Saat sudah di kelas, aku mengeluarkan gambarku dari dalam tas dan mencermatinya. Ingatanku tentang ilustrasiku yang hilang malah kembali lagi. “Ah, sudahlah! Dia mungkin sudah tidak ada lagi di dunia ini”, tampik pikiran pesimisku.

Teman-temanku mulai berdatangan, aku dengan segera memasukkan gambarku ke dalam tas lalu menggantinya dengan buku. 10 menit sebelum bel masuk berbunyi, Imam menghampiriku.

Fa! Ini bukunya. Makasih banyak, ya!

Oke, Mam! Sama-sama

Oh...iya, ngomong-ngomong ternyata kamu pandai gambar ya, Fa.

Eh...Enggak, aku nggak jago gambar kok.

Aih! Jangan merendah gitulah. Aku udah lihat sendiri lho hasil gambarmu di buku catatan Fisika itu.

Mendengar ucapan Imam barusan, aku sangat terkejut. Jangan-jangan itu ilustrasiku yang hilang kemarin. Aduh, bagaimana ini!? Aku mencoba tetap terlihat tenang dan bersikap biasa.

Eh...Oh, yang itu, ya? Enggak kok, biasa aja, nggak bagus-bagus amat!

Jangan gitulah, Fa! Bagus banget itu, beneran. Oh...Iya, kebetulan OSIS mau ngadain lomba menggambar. Mungkin sekitar seminggu lagi. Coba aja ikut berpastisipasi, Fa! Siapa tahu rejeki.

Eh... Iya, Mam! Makasih banyak ya, infonya.

Oke, Fa! Sama-sama

Imam kembali ke tempat duduknya, sementara aku masih bingung dengan hasil gambar yang dimaksud Imam. Aku merasa bahwa aku tak pernah menaruh gambarku di tas, apalagi buku catatan Fisika. Atau jangan-jangan aku yang lupa bahwa aku telah menaruhnya di situ.

Pikiran-pikiran yang semakin membuatku bingung terus mendatangiku. Namun, aku masih belum berani membuka buku catatan Fisikaku sebelum sampai di rumah. Aku sangat lega Imam tak membahas soal isinya.

Saat sampai di rumah, aku langsung menuju kamar. Memastikan kondisi sekitar aman sebelum aku membuka buku catatan Fisikaku. Selepas yakin benar-benar aman, aku membuka buku catatan Fisikaku pelan-pelan, dan benar firasatku tadi pagi, gambar yang dimaksud oleh Imam adalah ilustrasiku yang sangat kucari-cari.

Aku mengusap dadaku pelan karena telah menemukannya kembali. “Alhamdulillah, ya Allah”, ucapku dalam hati dengan ekspresi yang penuh ketenangan.

Seminggu kemudian, seperti yang dikatakan Imam, OSIS mengadakan lomba menggambar. Aku mengikuti saran Imam waktu lalu, mencoba berpartisipasi. Ketika hasil diumumkan, aku benar-benar tak menyangka bisa meraih juara pertama.

Aku tersenyum lepas mengetahui hal tersebut, di sisi lain aku juga masih deg-degan. Saat pulang aku merasa sangat senang, meski di sisi lain masih dihantui trauma akibat keterlambatan sampai di rumah waktu itu.

Saat sampai di rumah, tasku dicek terlebih dahulu oleh Ibu. Ia menemukan hadiah lomba menggambarku, sertifikat dan amplop yang berisi uang Rp. 300.000. Ibu membaca sertifikatku, ia pun akhirnya tahu dari mana amplop itu kudapatkan.

Dia mengembalikan sertifikatnya ke dalam tas lalu memberikan tas kepadaku. Belum sempat aku mengucap protes untuk meminta uangku kembali tiba-tiba ibu berujar, “Ini bukan uang kamu!”, dengan nada yang ditekan.

Aku sangat kecewa mendengar hal tersebut. Aku hanya bisa menunudukkan kepala, bila aku menjawab, akan ada sesuatu yang menghampiriku entah itu teriakan maupun benda seperti sapu lidi. Aku lalu menuju kamar dengan menyeret tasku.

Di dalam kamar aku tak bisa apa-apa selain berteriak sekeras-kerasnya dalam hati. “Bukankah ini hasil kerja kerasku? Kenapa hakku malah diambil dengan gampangnya?”. Aku hendak menangis dan seperti kemarin-kemarin, pelarianku adalah menggambar.

Setelah kejadian itu, aku berjanji pada diriku untuk tidak menunjukkan prestasiku pada orang tuaku. Karena bila aku menunjukkannya, mereka akan mengambil semua uangnyajika reward-nya berupa uang.

Aku menghabiskan hari-hariku dengan menggambar dan mencari informasi terkait kompetisi menggambar. Aku terus saja mengurung diri. Alasannya jelas, di satu sisi aku tak diperbolehkan bermain bersama teman-temanku dan di sisi lain aku merahasiakan aktivitasku berpartisipasi dalam lomba menggambar dari orang tuaku.

Hari demi hari kulewati dengan mengikuti kontes menggambar. Saat baru pertama kali ikut lomba menggambar tingkat nasional, aku tak mendapat apa-apa selain sertifikat peserta.

Sudah 10 kali lebih aku berpartisipasi dalam tingkat nasional, hasilnya masih sama, aku sekadar menjadi peserta. Percobaan yang ke-15, aku benar-benar sudah di puncak kelelahan. Namun, seperti mendapat sebuah cahaya yang sangat benderang, aku yang merasa akan menjadi sekadar peserta ternyata berada di posisi juara favorit. Kabar gembira itu menyulut semangatku lagi untuk berkarya.

Niatku untuk berhenti mengikuti lomba menggambar kini sudah pamit undur diri, digantikan oleh niat untuk terus menggambar apa pun yang terjadi. Kesungguhan niat serta konsistensiku berbuah manis, aku banyak mendapat juara di berbagai kompetisi menggambar.

Semua itu tanpa sepengetahuan orang tuaku. Setelah cukup banyak aku meraih juara dan menerima tak sedikit uang tunai, aku mulai berpikir akan kugunakan untuk apa uang tersebut.

Sejenak kemudian aku menengok ilustrasiku dahulu, gambar yang pertama kali kubuat dan merupakan luapan emosi terdalam. Aku lalu mendapat ide dari situ. Ya, aku memutuskan untuk menggunakan uang reward lomba guna membeli alat-alat menggambar digital.

Aku tak bisa membeli semuanya seketika, aku membelinya satu per satu mengingat harga alat-alatnya yang kurasa cukup mahal. Tanpa kusangka ternyata aku mampu membeli semua alat yang kubutuhkan. Aku sangat bersyukur.

Mulai saat itu, aku mulai menggambarentah itu dalam bentuk ilustrasi maupun komikdan mempublikasikannya di berbagai platform. Hasil karyaku tersebut berisi tentang kehidupan anak yang memiliki orang tua yang terlalu mengekang anaknya dan memperlakukan si anak dengan sekehendak hatinya sendiri.

Ternyata hasil karyaku tersebut mendapat respons yang positif dari berbagai orang di luar sana. Mereka semua mendukungku untuk terus berkarya seperti demikian.

Bila dahulu aku memprotes Dzat Yang Maha Pengatur Alam Semesta atas ketidakadilan yang kurasakan. Sekarang aku sangat bersyukur bisa menebar manfaat kepada sesama. Dalam hati aku berkata, “Aku mungkin tak bisa memilih lahir dari orang tua yang seperti apa. Tapi aku bisa memilih untuk menyebarkan kebaikan dan menyuarakan pentingnya mendidik anak dengan cara yang baik melaui gambarku”.

Aku berharap melalui gambar-gambarku, orang-orang di luar sana bisa sadar terkait bagaimana mendidik anak yang baik. Selain itu aku juga berharap, gambar-gambarku tersebut bisa menghibur dan menunjukkan ketidaksendirian bagi para anak-anak yang nasibnya sama denganku.

Aku harap mereka tak kehilangan semangat untuk terus menapaki kehidupan. “Ya Allah, semoga apa yang aku lakukan ini, Engaku hitung sebagai amal baikku, Aamiin”, ucapku dalam setiap doa.

Mohammad