Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad Azharudin
Ilustrasi Pistol (Pexels/Tima Miroshnichenko)

Aku berlarian mencari tempat sembunyi di dalam rumah. Desing peluru mengiringi setiap langkahku. Napasku tak teratur, detak jantungku berada di kecepatan tertinggi. 

“Kami tidak akan menyerahkan tanah tempat tinggal kami pada bajingan seperti kalian!”.

Terdengar suara teriakan dari luar, disusul dengan sorakan warga desa lainnya. Desing peluru masih terdengar nyaring. Bau amis darah mulai tercium. Aku tak tahu itu darah siapa, apakah darah warga desa atau darah penjajah bajingan itu. 

Di tengah kesibukanku mencari tempat sembunyi, aku tiba-tiba teringat dengan konflik awal mula pemicu perang ini. Dahulu, para penjajah itu mengenalkan diri sebagai orang-orang baik kepada warga desa. Mereka mengaku bahwa kedatangan mereka ke desa kami bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa. 

Mulanya mereka memberi akses pendidikan gratis kepada kami. Warga desa tentu sangat bahagia karena bagi mereka biaya pendidikan itu tak murah. Bila dihitung, mungkin anak-anak desa kami yang bisa menikmati pendidikan hanya 25%, itu pun maksimal hanya sampai jenjang SMP. 

Warga desa menyambut meriah tawaran para penjajah itu. Semua anak-anak diberi akses gratis sekolah, dan setelah lulus mereka tidak perlu khawatir mencari kerja. Sebab, para penjajah itu berkata bahwa mereka telah menjamin semuanya. Warga desa semakin gembira mendengar hal tersebut.

Lima tahun berjalan, warga desa mulai curiga ke mana sebenarnya anak-anak mereka dicarikan tempat kerja. Anak-anak itu tak pernah pulang, pun tak pernah ada kabar. Mereka menanyakan hal tersebut pada para penjajah itu, tapi jawabannya selalu sama, “Anak-anak kalian baik-baik saja, bahkan keadaan mereka jauh lebih baik dari yang kalian pikirakan”. 

Saat warga desa hendak menjenguk, mereka selalu diancam dengan pencabutan kebijakan penggratisan pendidikan. Mereka pun urung melakukannya. Hingga suatu malam, salah seorang dari anak-anak yang dipekerjakan itu pulang. Keadaannya begitu mengerikan, tubuhnya kurus kering, kakinya seolah tak mampu menopang tubuhnya.

Warga desa yang melihatnya langsung menghampirinya. Ia tak lantas memanggil warga desa lain, sebab hal tersebut akan menimbulkan keramaian yang bisa memancing perhatian para penjajah. Anak itu lantas dibawa di rumah pak RT.

Ia diberi minum dan makan. Napasnya tersengal, ia tampak begitu kelelahan. 

“Kita telah dibohongi, hah, hah, hah!”, napasnya tak teratur. “Kita semua tak pernah mendapatkan pekerjaan yang layak. Kami dipaksa bekerja tanpa pernah diberi imbalan. Makanan yang diberikan kepada kami tak seimbang dengan tenaga yang kami keluarkan ketika bekerja”. 

“Apakah semua anak-anak keadannya seperti dirimu?” tanya salah seorang warga.

“Ya! Bahkan beberapa dari kami ada yang telah meninggal. Ini, aku membawa beberapa surat titipan dari mereka," ia mengeluarkan beberapa lembar kertas. Kertas-kertas itu diremas, sepertinya hal tersebut untuk mengelabuhi supaya para penjajah itu tak curiga.

“Lalu, bagaimana kamu bisa keluar dari tempat itu?”.

“Aku... uhuk, uhuk!” belum selesai ia menjawab, nyawanya telah pergi meninggalkannya.

Warga desa tanpa berkata apa-apa langsung sepakat menaruh dendam pada para penjajah itu. Tiga hari setelah kematian anak muda tersebut, warga desa membunuh para penjajah yang berjaga di perbatasan desa. Jasad-jasad para penjajah yang telah dibunuh, lantas dibuang ke sungai. 

Esok hari warga telah bersiap dengan apa yang akan terjadi. Ya, mereka telah berbaris untuk menyambut perang yang ada di depan mata mereka. Hari itu adalah hari ini. 

Matahari perlahan meninggi, banyak korban berjatuhan dari kedua sisi. Aku masih mencari tempat untuk bersembunyi, hingga akhirnya aku memutuskan untuk bersembunyi di atas tumpukan gabah. Aku lantas menutup tubuhku dengan sebuah terpal.

Lima belas menit berlalu, desing peluru kini tak kudengar lagi. Meski demikian aku masih tak berani untuk keluar dari tempat persembunyianku. Aku takut jika warga desa ternyata kalah dalam perang ini. Di tengah kebingunganku tersebut, tiba-tiba ada yang menyingkap terpal yang kugunakan untuk bersembunyi.

Jantungku berdetak tak karuan, aku sangat takut jika yang membuka adalah salah seorang dari penjajah itu. Aku mencoba menenangkan diri, tapi tetap tak berhasil. Hingga saat terpal terbuka, aku lega melihat sosok di depanku. Dia adalah pak Lurah. 

Namun, belum sempat aku menyapa tiba-tiba pak Lurah menodongkan pistol di depan wajahku. Aku sangat kebingungan, kenapa pak Lurah hendak menembakku. 

“Kenapa? Ada apa ini?” aku berteriak.

“Tak ada gunanya kau berteriak, riwayatmu berakhir di sini!”.

Aku menutup mataku erat-erat, sejenak kemudian terdengar keras suara tembakan di depanku. Tubuhku gemetar, aku berpikir bahwa aku sekarang tak lagi di alam dunia. Namun, tiba-tiba terdengar suara yang memakasaku membuka mata.

“Tenang, nak! Bajingan itu telah kubunuh. Kau bisa membuka matamu kembali, jangan takut! Kita sekarang sudah menang”.

Saat aku membuka mata, jasad pak Lurah telah ambruk bersimbah darah. Aku masih kebingungan dengan apa yang terjadi. 

“Ayo kita keluar dan bertemu dengan warga desa lainnya. Kita semua berhasil memukul mundur para penjajah bajingan itu”.

Rupanya warga desa sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mereka telah membaca surat-surat yang dibawa oleh anak muda yang meninggal saat itu. Ternyata selama ini pak Lurah telah bekerja sama dengan para penjajah itu untuk memperkaya dirinya sendiri. Dialah yang membuat anak-anak desa kami tersiksa dalam pekerjaan dan tak pernah diizinkan pulang.

Surat-surat itu juga mengungkap letak-letak gudang senjata musuh. Sebagian warga desa telah menjarah gudang senjata itu. Mereka ternyata juga telah menyusun siasat sebelumnya, sehingga mereka bisa dengan mudah memukul mundur lawan.

Mohammad Azharudin