Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ina Barina
Ilustrasi Cahaya Bulan (Pixabay)

Hembusan angin menerpa malam sunyi

Sendunya rembulan seolah menceritakan sebuah kisah

Tentang dunianya yang tak pernah adil

Dunia yang tak pernah mau peduli dengan inginnya

Dunia yang egois pada porosnya sendiri

Dunia yang selalu membuatnya berpikir

Bahwa semesta tak pernah berpihak padanya

Sikapnya begitu tenang, namun matanya menatap begitu tajam

Keberaniannya telah mampu membuka kunci bibirnya

Perlahan, ia mulai mengungkapkan kepedihan demi kepedihan yang dilalui

Katanya, ia tak lagi percaya akan harapan

Apalagi, keajaiban

Mereka semua begitu semu, palsu

Mereka telah menipunya mati-matian

Mendorongnya dengan keji pada lautan penderitaan

Sang Bintang pun menangis, kemudian tertawa

Katanya, sinar dalam sebuah senyuman saja telah mampu mengalahkan dunia

Bagaimana bisa sang rembulan kalah dengan sebuah tiupan kecil?

Begitu rapuh, layaknya cahaya dari sebuah lilin

Makna ucapan itu begitu hebat mengguncangkan keteguhan rembulan

Panah lancip nan tajam itu seolah begitu menujam relung jiwa sang rembulan

Rembulan mengusap matanya, menyadarkan dirinya yang telah lama terlena

Ia sudah terlalu lama,

Bergeming pada kesemuan semesta.

Senyumnya pun kemudian mengembang,

Ia mulai sadar, ini salah

Bukan dunia yang tidak adil padanya, tapi ia yang terlalu lemah pada tiupan-tiupan kecil

Bukan dunia yang tidak memerdulikannya, tapi ia yang terlalu meminta cahaya yang lebih

Padahal, dirinya lah cahaya itu

Jadi, untuk apa meminta dirinya sendiri pada dunia?

Ia telah memiliki segalanya

Semesta telah dalam genggamannya

Ia, selalu memiliki dirinya

Dan itu, cukup

Ina Barina