Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Taufan Rizka Purnawan
Ilustrasi teka-teki. (pixabay.com)

Teka-teki sebuah raga yang tercipta hanya membuat rasa penasaran yang tak pernah usai. Untuk apa raga ada di dunia bila sebuah ujung yang berseru kembali pada asalnya. 

Raga yang tercipta ternyata hanya biang kerusakan di muka bumi. Yang terus saja merusak semua kehidupan yang telah tertata dengan rapi. Entah menjadi seperti apa nantinya bila kehancuran telah berseru pada dunia. Kebusukan raga di dunia yang seakan layaknya sebuah sampah.

Berseru kembali pada asalnya dari gundukan tanah yang sangat lembek. Raga yang tercipta di dunia yang begitu sia-sianya. Kesia-siaan raga yang menuju sebuah alam sesat sempurna.

Sesat yang diraih kala raga manusia yang begitu indah. Tak ada rasa syukurnya manusia. Kala memiliki sebuah jalan yang tak pernah lurus adanya. Sebuah guratan yang memahat dalam hamparan jiwa.

Fatamorgana yang menghamba pada dunia penuh keagungan yang kian lama kian layu. Sebuah jawaban yang ada pada semua kehidupan dengan bias kesenangan.

Apalah arti sebuah raga bila tercipta di dunia yang sangat luas hamparannya. Bila semua raga yang ada hanya menikmati buaian nikmat yang tak pernah ada kepuasan tersendiri.

Bila raga yang ada hanyalah tak ada arti apa-apa. Yang berjalan pada segenap kehidupan tak pernah ada merasakan syukur. Hidupnya penuh kufur. Yang memanggil petaka siksa yang sangat menghantam seluruh jiwa.

Taufan Rizka Purnawan