Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Taufan Rizka Purnawan
Ilustras Hamparan Danau. (pixabay.com)

Berkata kepada hamparan danau dalam sejuta jerit kegundahan yang tak bisa terpendam lagi. Kegundahan akan kehidupan dunia terkoyak dalam tingkah manusia semakin bebal. Semakin bebal menjadi liar tiada kendali.

Hamparan danau menjadi sahabat nyata dalam langkah kehidupan yang kujalani. Dalam kesendirian menjauh dari segenap manusia yang bertingkah bebal. Tak tahan lagi menatap jahatnya manusia kepada sesama.

Segenap manusia saling membunuh satu sama lain. Saling membunuh dalam api nafsu yang membara. Api nafsu menjadi penuntun langkah manusia yang semakin tak karuan. 

Bertebaran segala kehancuran dunia membuat sanubari kecil seakan tersayat-sayat. Dalam keutuhan raga yang semakin tak kuat lagi menatap segala tingkah manusia yang tak karuan.

Menikmati indahnya hamparan danau berhimpit pada gunung yang sangat agung. Gunung yang sangat agung menjulang tinggi berdiri amat kokoh tertancap di bumi. Nikmatnya kedamaian dalam kesendirian penuh keteduhan nyata.

Alam pikiran penuh kekalutan dalam bauran rasa takut akan kehidupan yang semakin singkat. Sepanjang waktu terus berkata curhatan perihal kehidupan yang semakin berantakan. Seakan kehidupan dunia telah terbalik.

Tak ada tingkah mulia sedikitpun yang terpancar pada kehidupan dunia. Seakan kehidupan dunia menemui ajalnya dalam kehancuran sejati. Menjadi pertanda musnahnya naluri kemanusiaan dalam keniscayaan kehidupan dunia.

Menatap keindahan hamparan danau dalam ungkapan kegundahan menjadi pelengkap kehidupan yang berhias dalam kesendirian.

Taufan Rizka Purnawan