Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Taufan Rizka Purnawan
Ilustrasi Hutan. (pixabay.com)

Sebuah pesan kepada hutan tersirat dari kesunyian langkah manusia. Pesan yang tak berwujud dari jeritan sanubari kecil. Jeritan perihal kerusakan alam dalam cengkeraman ketamakan manusia.

Kerusakan alam yang tak kunjung usai. Kerusakan alam yang terus merajalela kian mengancam kehidupan. Manusia tak ada rasa bersalah akan tingkahnya pada kerusakan alam.

Aku merasa tak tahan lagi dalam segala tingkah manusia pada kerusakan alam yang nyata. Bertabur rasa kegundahan yang menggugah jerit dalam bauran tangis. Tangis akan musnahnya alam yang tak tersisa setitikpun.

Hunian kehidupan kian kacau balau. Bertubi-tubi petaka dari alam kian menyiksa kehidupan. Bencana demi bencana yang kian menghantam nyawa.

Kegundahan sejati tergambar dari deretan bencana alam yang tak kunjung berakhir. Kesendirian raga berdiri terdiam sejenak menghantarkan pesan tak berwujud kepada hutan.

Kerusakan alam terutama hutan menjadi cerminan akan nafsu yang bergora menuntun manusia pada ketamakan. Demi pemuas isi perut manusia melibas habis hutan yang terhampar lebat di bumi.

Hijau hutan menambah keanggunan dan saujana alam yang asri. Sungguh teriris hati kala melihat nasib hutan yang semakin tersisa sedikit jumlahnya. Sanubari kecil pun juga menangis sejadi-jadinya.

Tingkah laknat manusia yang tak kenal ampun pada hamparan saujana hutan. Demi nafsu khazanah alam yang terkandung di dalamnya, manusia rela berbuat lancang merusak hutan.

Taufan Rizka Purnawan