Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Rico Andreano Fahreza
Ilustrasi Pagar Besi. (pixabay.com)

Terkapar dalam kurungan kekufuran yang selalu menghiasi segenap batinku. Batinku yang layu tak ada nyali menghadapinya. Dengan kekufuran atas kenikmatan yang aku miliki.

Yang menggoreskan tinta hitam kehinaan yang sangat indah bagiku. Dengan segala congkak tingkahku kepada siapapun. Tanpa ada simpati yang kuhantarkan.

Tak ada lagi istilah nurani dalam benak jiwaku. Hanyalah kesenangan duniawi yang menjadi makanan keseharianku. Guratan kekufuran yang nyata memeluk batinku.

Tiada lagi rasa kemanusiaan yang terpancar dari ragaku. Penuh kegelapan jiwa yang menjadi sahabat sejati bagi naungan ragaku. Seolah menjadi bawaan bagi hidupku.

Aku tak peduli dan menganggap masa bodoh dengan istilah kemanusiaan. Tak kenal kata kemanusiaan. Seolah kubuang jauh-jauh istilah kemanusiaan.

Keserakahan yang penuh kecurangan yang selalu merangkul seluruh ragaku. Seutas kelicikan yang membawa dalam senda gurau akan lemahnya siapapun yang kupandang.

Aku yang merasa paling hebat dan kuat. Dengan pongah kepada siapa saja yang menatapku. Persetan dengan tatapan sinis siapapun yang melihatku.

Bermandikan lautan harta yang menumpuk membuatku semakin tak puas. Yang selalu tak kenal rasa syukur atas segala hamparan harta yang kuraup.

Kufur nikmat menjadi amal selama hidupku di dunia. Yang mengabaikan seruan azab-Nya bagi hamba yang kufur nikmat. Aku menganggap remeh akan seruan azab dari Illahi.

Jelas aku hanya hidup demi harta yang selalu menjadi sahabat setia. Sahabat setia yang tak pernah meninggalkanku selamanya.

Rico Andreano Fahreza