Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Taufan Rizka Purnawan
Ilustrasi Kebahagiaan. (pixabay.com)

Bergema teriakan kebahagiaan mengusik dan melibas segala kesangsian. Segala kesangsian merupakan merupakan buah petaka pengkhianatan asmara. Pengkhianatan asmara penuh siksa segala batin.

Batin terasa pedih dalam belenggu siksa pengkhianatan asmara. Parutan yang menyisakan gerak nyata melukai segenap raga. Raut rupa wajah yang muram dalam rantai kesangsian. 

Pengkhianatan asmara yang terlukis penuh suasana teduh nan tulus. Berharap asmara kan menyatukan jiwa dalam rupa mahligai kehidupan yang cantik. Berhias kegundahan nyata terus membersamai batin.

Dalam batin berujar pada keputusasaan kian berembus kencang. Rangkaian kalimah keputusasaan menuntun langkah berhenti tak mau berjalan.

Kala suasana lampau menggetarkan saujana kelam pada petualangan asmara yang tercoreng pengkhianatan. Pengkhianatan asmara dengan sosok wanita yang amat kusayangi.

Cetusan asmara berujar pada ceruk kehidupan kian melembutkan batin. Sosok wanita yang amat kusayangi menjadi harapan asmara yang terakhir. Berharap menjadi sandaran asmara yang berkembang selamanya. 

Melangkah bersama menata rupa kehidupan yang indah. Namun sayang seribu sayang hancurlah asmara yang terucap sangat apik. Dia tega menikam ragaku dari belakang. 

Dia menemukan sandaran sandaran hidup dan berpaling meninggalkanku. Asmara semu terlihat indah, tetapi penuh akhir cerita asmara yang getir. Asmara hanyalah kata pemoles kegundahan semata. 

Rupa pengkhianatan asmara yang menjadi angin lampau yang telah lenyap berlalu. Teriakan kebahagiaan melupakan segala rupa kesangsian menuntun jalan dalam keputusasaan.

Taufan Rizka Purnawan