Tanahku yang subur dan kaya sumber daya alam. Hijau alam menyelimuti tiap sudut-sudut rumah. Cuaca yang dingin berarus menyemai sampai pada tulang-tulangku. Keheningan di malam hari pun dapat menyejukkan pikiran dan perasaan.
Tanahku yang indah dan tak akan tergantikan dengan yang lain. Tempat kelahiranku bersama orang-orang tercinta. Mengadu nasib dan bertaruh hidup hanya untuk dapat makan dalam sehari. Tanah yang telah banyak memberikan cerita suka dan duka.
Namun, kini tanahku tak seindah dahulu lagi. Tak seharmonis seperti cerita-cerita yang telah diukir para nenek moyang kami. Kini tanahku dieksploitasi para penguasa yang tak bertanggungjawab. Mereka membawa atas nama rakyat, namun ujung-ujungnya mengelabuhi rakyat. Mereka sangat pandai bertopeng dan beronani di atas singgasana kekuasaan.
Kini tanahku tengah bergejolak di antara masyarakatnya. Ketentraman rakyat tak mampu lagi terlihat. Bahkan yang nampak hanyalah cerita saling tuding dan mengelabuhi satu sama lain, rasa tidak percaya dan mementingkan ego masing-masing. Menceritakan keburukan sesama saudara, itulah masalah yang kini terjadi. Parahnya, penguasa sebagai pengambil kebijakan juga tak melibatkan dirinya dalam menyelesaikan masalah itu. Ia pun tak mau ambil pusing dan lepas tangan.
Bahkan, tindakan dari penguasa di tanah kelahiranku makin merajalela akan kehausannya. Ia menguras abis hak-hak rakyat, menyelinap dan memboyong harta kekayaan rakyat. Sang penguasa hanya menjadikan tanahku sebagai bahan lelucon saja.
Tanahku kini sedang sakit, sakit karena onani dari penguasa. Penyakit oligarki dan korupsi selalu saja melekat pada sang penguasa. Mengambil hak rakyat yang bukan haknya, bersimponi di hadapan rakyat. Tak seeloknya juga, kadang hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Rakyat kecil selalu menjadi incaran yang sangat serius ketika melanggar hukum, sementara penguasa masalahnya dapat diselesaikan di bawah meja saja, dengan santai tanpa ada beban. Memang lucu tanahku ini, cepatlah pulih wahai tanahku, jemputlah kejayaanmu di masa lalu itu.
Baca Juga
-
Hari Raya Idul Fitri, Memaknai Lebaran dalam Kebersamaan dan Keberagaman
-
Lebaran dan Media Sosial, Medium Silaturahmi di Era Digital
-
Ketupat Lebaran: Ikon Kuliner yang Tak Lekang oleh Waktu
-
Dari Ruang Kelas ke Panggung Politik: Peran Taman Siswa dalam Membentuk Identitas Bangsa
-
Menelisik Sosok Ki Hajar Dewantara, Pendidikan sebagai Senjata Perlawanan
Artikel Terkait
-
Antara Doa dan Pintu yang Tertutup: Memahami Sajak Joko Pinurbo
-
4 Alasan Buku Kumpulan Puisi Perjamuan Khong Guan Wajib Kamu Baca!
-
Puisi Wiji Thukul Kembali Menggema: Peringatan dalam Pusaran Ketidakadilan
-
Rayakan Hari Puisi Sedunia Lewat 5 Buku Puisi Terbaik Karya Sastrawan Dunia
-
Berharap Nikah Lagi Dengan Desta, Masa Lalu Sedih Natasha Rizky di Bali Terungkap
Sastra
Terkini
-
Piala Asia U-17: Timnas Indonesia Wajib Jaga Marwah saat Ladeni Afghanistan
-
3 Pemain Timnas Indonesia U-17 yang Layak Promosi ke Level Timnas U-20
-
Berniat Rayakan Galungan di Bali: 3 Aktivitas Ini Bikin Kamu Makin Dekat dengan Budaya Lokal
-
Timnas Indonesia U-17: Tim Non-unggulan yang Bikin Lawan-Lawannya dalam Posisi Sulit
-
Lolos Piala Dunia U-17 2025, 3 Pemain Keturunan Ini Bisa Dinaturalisasi!