Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Budi Prathama
Ilustrasi Lahan Pertanian. (Pixabay.com/shownkonopaski)

Tanahku yang subur dan kaya sumber daya alam. Hijau alam menyelimuti tiap sudut-sudut rumah. Cuaca yang dingin berarus menyemai sampai pada tulang-tulangku. Keheningan di malam hari pun dapat menyejukkan pikiran dan perasaan. 

Tanahku yang indah dan tak akan tergantikan dengan yang lain. Tempat kelahiranku bersama orang-orang tercinta. Mengadu nasib dan bertaruh hidup hanya untuk dapat makan dalam sehari. Tanah yang telah banyak memberikan cerita suka dan duka. 

Namun, kini tanahku tak seindah dahulu lagi. Tak seharmonis seperti cerita-cerita yang telah diukir para nenek moyang kami. Kini tanahku dieksploitasi para penguasa yang tak bertanggungjawab. Mereka membawa atas nama rakyat, namun ujung-ujungnya mengelabuhi rakyat. Mereka sangat pandai bertopeng dan beronani di atas singgasana kekuasaan. 

Kini tanahku tengah bergejolak di antara masyarakatnya. Ketentraman rakyat tak mampu lagi terlihat. Bahkan yang nampak hanyalah cerita saling tuding dan mengelabuhi satu sama lain, rasa tidak percaya dan mementingkan ego masing-masing. Menceritakan keburukan sesama saudara, itulah masalah yang kini terjadi. Parahnya, penguasa sebagai pengambil kebijakan juga tak melibatkan dirinya dalam menyelesaikan masalah itu. Ia pun tak mau ambil pusing dan lepas tangan. 

Bahkan, tindakan dari penguasa di tanah kelahiranku makin merajalela akan kehausannya. Ia menguras abis hak-hak rakyat, menyelinap dan memboyong harta kekayaan rakyat. Sang penguasa hanya menjadikan tanahku sebagai bahan lelucon saja. 

Tanahku kini sedang sakit, sakit karena onani dari penguasa. Penyakit oligarki dan korupsi selalu saja melekat pada sang penguasa. Mengambil hak rakyat yang bukan haknya, bersimponi di hadapan rakyat. Tak seeloknya juga, kadang hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Rakyat kecil selalu menjadi incaran yang sangat serius ketika melanggar hukum, sementara penguasa masalahnya dapat diselesaikan di bawah meja saja, dengan santai tanpa ada beban. Memang lucu tanahku ini, cepatlah pulih wahai tanahku, jemputlah kejayaanmu di masa lalu itu. 

Budi Prathama