Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin | Deva
Buku Kambing & Hujan.(Goodreads.com)

Judul Buku : Kambing dan Hujan

Penulis : Mahfud Ikhwan

Penerbit : Penerbit Bentang (PT. Bentang Pustaka)

Tahun Terbit : 2015, Cetakan I

Jumlah Halaman : iv + 374 halaman

Apa yang terlintas di benak Anda ketika membaca buku dengan judul “Kambing dan Hujan”? Ya, novel ini sangat unik karena menampilkan kisah persahabatan dan percintaan dengan latar belakang perbedaan ormas! Kenyataannya memang bukan hal yang baru di masyarakat.

Akan tetapi, ketika sudah dibalut menjadi sebuah karya sastra tentu ada pembelajaran tersendiri yang bisa kita dapatkan. Sebagaimana fungsi sastra itu sendiri sebagai sarana pembelajaran kehidupan.

Novel karya Mahfud Ihwan yang berhasil menyabet penghargaan Sayembara Novel DKJ 2014, Karya Sastra Terbaik 2015 versi Jakartabeat, dan Buku Terbaik 2015 versi Mojok ini bercerita tentang Fauzia dan Miftah meminta restu orang tua, terutama ayah mereka, agar bisa melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan.

Perjalanan mereka meminta restu pada orang tua mereka tidaklah mudah dikarenakan ayah mereka merupakan pimpinan masing-masing ormas yang ada di desa Tegal Centong. Ya, Fauzia dan Miftah berasal dari desa yang sama dengan ormas yang berbeda.

Ayah Fauzia yang akrab disapa Moek merupakan pimpinan Centong Selatan yang berbasis NU. Sedangkan ayah Miftah yang bernama Iskandar adalah pimpinan ormas Muhammadiyah di Centong Utara.

Realitas sosial dalam novel Kambing dan Hujan

Ketika membaca novel ini, kita diajak untuk melihat lebih dekat mengenai realitas kehidupan keagamaan yang ada di Indonesia, dalam hal ini agama Islam. Kehidupan keislaman Indonesia saat ini dipisahkan oleh ormas-ormas. Masing-masing ormas memiliki pendapatnya mengenai tata cara beribadah dan amalan-amalan keseharian.

Seperti ormas NU yang menggunakan doa Qunut saat salat Subuh, mengumandangkan dua adzan ketika salat Jumat, adanya tahlil, ziarah kubur, dan lain-lain. Dalam novel ini pun digambarkan bagaimana pengikut ormas Muhammadiyah (Pak Kandar, Cak Ali, dan lain-lain) menentang hal-hal yang dianggap baru tersebut (bid’ah).

Sisi menarik lainnya adalah saat penentuan satu Syawal yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Muhammadiyah menggunakan metode hisab saja, sedangkan ormas NU menambahkan metode rukyatul hilal. Karena penggunaan metode yang berbeda tersebut tak jarang kita merayakan lebaran dengan hari yang berbeda.

Dalam novel ini pun tidak luput dari menggambarkan suasana perayaan hari lebaran di hari yang berbeda dalam satu desa. Dengan sedikit sentuhan komedi, penulis berhasil menggambarkan bagaimana reaksi masyarakat menghadapi lebaran di hari yang berbeda tersebut dengan saling menyindir pengikut ormas masing-masing.

Kata-kata mutiara yang terdapat di novel ini:

  •  Aku tidak cukup cerdas untuk malas. Aku tidak cukup alim untuk mendapatkan ilmu laduni sebagaimana yang dialami para alim-ulama terkemuka.
  • Janganlah kamu melakukan penaniayaan, sekalipun pada anjing galak
  •  Ilmu itu, apapun jenisnya, asal bermanfaat dengan sendirinya jadi bagian dari agama
  • Bukankah berusaha mendapatkan istri/suami hebat dan cantik/ganteng yang kita cintai, yang kita yakini bisa menemani kita dunia akhirat adalah ibadah? (catatan untuk para jomblo hihihi)

Deva