Pagi itu saya sedang jalan-jalan di Pasar Baru. Masih sekitar pukul 09.00 WIB. Toko-toko belum banyak yang buka. Saat berjalan menyusuri pertokoan menuju toilet, ada yang menarik pandangan mata saya, yaitu iklan di depan sebuah toko yang ingin mengontrakkan tempat tersebut.
Tiba-tiba saya teringat dengan sebuah buku terbitan Bentang Pustaka tahun 2017 berjudul Remah-remah Bahasa: Perbincangan dari Luar Pagar karya Eko Endarmoko yang saya baca pada bulan Mei lalu. Buku tersebut berisi kumpulan esai Endarmoko yang mengangkat tentang bahasa Indonesia dan sudah pernah diterbitkan di beberapa surat kabar.
Nah, pada salah satu esai yang ada di bukunya, Endarmoko menyinggung kesalahan berbahasa yang berhubungan dengan kata dikontrakan sebagaimana tertera pada gambar di atas.
Jika kita melihat lagi kata dikontrakan, sebenarnya terdapat kesalahan dalam penulisan yang mengakibatkan maknanya berubah, tidak seperti yang diinginkan. Walaupun kita memang sudah tahu bahwa maksud dari iklan tersebut adalah menawarkan tempat untuk disewakan.
Jika dibedah, kata dikontrakan berasal dari kata “kontra” yang salah satu artinya adalah “lawan”. Ini berarti kata dikontrakan memiliki arti yang sama dengan dilawankan. Lalu, jika yang dimaksud adalah ingin menyewakan tempat, kata dasar yang tepat digunakan ialah “kontrak” yang jika mendapat imbuhan di-kan menjadi dikontrakkan. Jangan lupakan dobel k di situ.
Pertanyaannya, apakah kamu sudah pernah menemukan kata “dikontrakkan” di sebuah tempat yang ingin disewakan? Saya sendiri belum pernah. Akan tetapi, terdapat dua kemungkinan, keduanya pernah saya temui, jika tidak menemukan kata dikontrakan, biasanya ditemukan kata di kontrakkan.
Pada kata dikontrakan sendiri terdapat kesalahan pada tataran semantik, seperti yang sudah di jelaskan di atas, sedangkan kata di kontrakkan terdapat kesalahan pada tataran gramatika di mana penulisan di yang disambung dengan kata kerja tidak boleh diberi spasi.
Permasalahan di atas adalah satu di antara banyaknya masalah berbahasa Indonesia masyarakat kita yang diangkat oleh Eko Endarmoko di dalam buku ini. Sangat menarik memang. Dari buku ini kita juga tahu betapa teliti dan luasnya pengetahuan Eko Endarmoko terkait bahasa Indonesia.
Selain itu, Endarmoko juga mengkritik “sastrawan” yang melanggar kaidah dengan berlindung pada licentia poetica, tetapi di sisi lain masih salah menggunakan kaidah bahasa.
Membaca buku ini membuat saya semakin mencintai bahasa Indonesia dan tertarik untuk terus mendalami dan mempelajarinya.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Mengkritisi Ruang Tabu dalam Keluarga, Ulasan Buku Aku Bukan Gay!
-
Ingin Jadi Penerjemah Novel? Ini 5 Bekal yang Mesti Kamu Miliki
-
Convenience Store Woman: Normal Itu Seperti Apa?
-
4 Buku Bacaan untuk Ibu dan Calon Ibu agar Lebih Berdaya Namun Tetap Waras
-
Tes IQ: Anda Diberikan Waktu 20 Detik untuk Menemukan Objek Tersembunyi, Apakah Bisa?
Kolom
-
Pendidikan atau Pangan? Debat Pengalihan Anggaran yang Kian Panas
-
Generasi Z dan Karier Tanpa Tali: Kenapa Job-Hopping Jadi Strategi?
-
Bukan Sekadar Omon-Omon: Kiprah Menkeu Purbaya di Ekonomi Indonesia
-
BGN Tanpa Ahli Gizi: Komposisi Pimpinan yang Memicu Kritik
-
Evaluasi Tanpa Jeda: Sikap Nekat Pemerintah soal MBG
Terkini
-
4 Sunscreen Non-Comedogenic di Bawah Rp50 Ribu, Aman Buat Kulit Berjerawat!
-
Sindir DPR RI, Kiky Saputri Bikin Saingan Tepuk Sakinah Jadi Tepuk Amanah
-
Bill Skarsgard Ternyata Sempat Ragu Bintangi IT: Welcome to Derry, Kenapa?
-
Umumkan Single Terbaru, Jisoo BLACKPINK Dikabarkan Gandeng Zayn Malik
-
Review Film Human Resource: Saat Punya Anak Bukan Lagi Hak Personal