Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Budi Prathama
Foto Kasman Singodimedjo. (Instagram/@kasmansingodimedjo_pkkmb2021)

Kasman Singodimedjo lahir pada 25 Februari 1904 di Desa Klapar, Kecamatan Begelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Ayahnya seorang muadzin yang sehari-hari bertugas mengurusi orang sakit atau orang meninggal. Sementara ibunya adalah seorang pedagang kain keliling.

Kasman Singodimedjo merupakan anak tertua dari empat bersaudara, yang mana adiknya semua adalah perempuan. Keluarga Kasman berasal dari desa, tetapi semangat Kasman untuk menuntut ilmu tidak pernah surut.

Kasman tercatat sebagai lulusan sekolah tinggi hukum di Jakarta, dan mendapat gelar Mesterr Inderechten (Mr). Di waktu muda, beliau sudah aktif berorganisasi, termasuk menjadi anggota Muhammadiyah dan mengenal dekat tokoh-tokoh terpenting seperti Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Ki Bagus Hadikusumo.

Pada 1938, Kasman ikut membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta bersama Kiai Haji Mas Mansur, Farid Ma'ruf, Soekiman, dan Wiwoho Purbohadidjoyo. Hingga pada Muktamar tanggal 7 November 1945, Kasman terpilih menjadi Ketua Muda III Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Peran dan pemikiran Kasman makin berkembang saat bersama tokoh-tokoh besar di organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Di organisasi itu, Kasman banyak berhubungan dengan Haji Agus Salim, H.O.S Tjokroaminoto, Kiai Haji Ahmad Dahlan, Syekh Ahmad Surkati, Natsir, Roem, Prawoto, dan Yusuf Wibisono.

Pada masa pendudukan Jepang, Kasman menjadi Komandan PETA Jakarta. Beliau termasuk salah satu tokoh yang berperan untuk mengamankan pelaksanaan upacara pembacaan proklamasi 17 Agustus 1945 dan rapat umum IKADA.

Setelah proklamasi, Kasman Singodimedjo diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang ditambahkan oleh Soekarno, untuk mengubah sifat lembaga bentukan Jepang. Beberapa deretan anggota yang ditambahkan, di antaranya Kasman, Ki Hajar Dewantara, Sajuti Melik, Iwa Kusuma Sumantri, Achmad Soebardjo, dan Wiranatakoesoemah.

Menjelang pengesahan UUD 1945, justru terjadi permasalahan terkait dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang nantinya akan menjadi Pembukaan UUD 1945. Perwakilan dari orang-orang Indonesia Timur merasa berat terhadap tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya."

Namun, tujuh kata itu merupakan kesepakatan saat sidang BPUPKI dan tentu tidak mudah untuk mengubahnya. Hal demikian membuat banyak tokoh Islam yang mempertahankan tujuh kata itu, termasuk Ki Bagus Hadikusumo. Beberapa sumber menyatakan, Kasman adalah orang yang dimintai tolong oleh Soekarno untuk melobi Ki Bagus Hadikusumo agar menyetujui penghapusan tujuh kata itu.

Pada rapat PPKI 18 Agustus 1945 yang menghasilkan beberapa putusan penting, termasuk pembentukan komite nasional, akhirnya Kasman diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

KNIP secara resmi terbentuk pada 29 Agustus 1945. Bahkan, Kasman terpilih sebagai ketua KNIP, parlemen pertama di Indonesia dengan wakil ketua I adalah Mr. Sutardjo Karto Hadikusumo, wakil ketua II adalah Mr. J. Latuharhary, dan wakil ketua III adalah Adam Malik.

Kasman juga diangkat menjadi Jaksa Agung pada 1945-1946 menggantikan Gatot Taroenamihardja. Saat menjabat sebagai Jaksa, beliau mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung No. 3 tanggal 15 Januari 1946. Maklumat itu ditujukan kepada para Gubernur, Jaksa, dan kepala Polisi tentang ajakan untuk membuktikan bahwa RI adalah negara hukum, yang artinya negara selalu menyelenggarakan pengadilan dengan cepat dan tepat.

Memasuki era demokrasi terpimpin, Kasman Singodimedjo ditahan oleh pemerintah Soekarno pada 9 November 1963. Dakwaan yang ditujukan kepadanya adalah melanggar Pasal 169 ayat (1), (2), dan (3) KUHP, yaitu turut serta dalam perkumpulan dan perserikatan yang bermaksud melakukan kejahatan yang dilarang undang-undang.

Setelah pemerintahan Soekarno runtuh, tidak banyak lagi terdengar pemberitaan tentang Kasman Singodimedjo. Meski demikian, beliau tetap aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Hingga akhirnya, Kasman meninggal pada 25 Oktober 1982 di Jakarta. 

Budi Prathama