Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nurillah A.
(DocPribadi/nurillah)

Sungguh mengagumkan membaca tulisan Edi AH Iyubenu, rasa-rasanya sangat sulit apabila tidak mengaitkannya dengan isu agama. Bukan lantaran judulnya tertulis Islam. Melainkan karena tulisan-tulisan di dalamnya sangat sesuai dengan keadaan negara.

Apalagi, dalam konteks sekarang. Banyak pendakwah yang saling menyalahkan pendakwah yang lain, sehingga pengikutnya juga terdorong membenci kaum yang lain. Tak ayal, sikap saling membenarkan pendapat sendiri ini makin lama memenuhi ruang media sosial.

Bermula dari kegentingan inilah, buku setebal 196 halaman ini hadir sebagai upaya menyejukkan bangsa. Penulis juga mengakui jika judul bukunya terinspirasi dari buah pikir Gus Dur, yakni Islamku, Islam Anda, Islam kita.

Namun, terlepas dari proses lahirnya sebuah judul, isi buku ini akan membawa pembaca ke celah paling sempit dari anak sungai, merenungi kehidupan guna memperbaiki rohani demi Tuhan. 

Pembahasan-pembahasan yang mulanya berat, disampaikan dengan bahasa bumi. Semata-mata agar pembaca tak merasa digurui. Sebab, penulis memang tak menggurui. Ia menyampaikan apa yang sepatutnya disampaikan. 

Ia mengajak bagaimana memahami agama –khususnya Islam– yang benar-benar rahmatan lil ‘alamin. Sehingga, Tuhan benar-benar memiliki sifat rahman kepada semua makhluk-Nya di muka bumi.

Keteguhan sikap penulis bisa dilihat bagaimana dirinya mengajak pembaca untuk cermat memilih dan memilah ceramah yang bermanfaat. Sebab, dewasa ini banyak sekali khotbah menyeramkan. Ironisnya, orang-orang yang demam agama menelan mentah-mentah apa yang disampaikan si dai.

“Cermatilah, Kawan-kawan. Ceramah-ceramah dalam bentuk apapun yang disampaikan siapa pun, termasuk via media digital, jika tidak menyuarakan mau’izhah hasanah, hikmah, dan rahmatan lil ‘alamin, pastilah itu bukan dilakukan oleh ulama pewaris para nabi. Matikan segera channel YouTube yang Anda putar. Jauhilah ia. Sesungguhnya Rasulullah Saw, para sahabat, dan para ulama sesudahnya (shalafus shalih), tidak mengajarkan kebencian-kebencian dalam perbedaan pandangan dan paham apa pun.” (Halaman 145)

Jika dicermati, sesungguhnya kekacauan beragama ini bermula daripada nafsu dan akal yang menduduki posisi tertinggi dalam diri. Padahal, di dalam kitab Ihya ‘Ulumuddien, Imam Ghazali mengumpamakan tubuh manusia seperti kerajaan. Di mana hati sebagai raja, dan akal sebagai penasehat. 

Mengapa bukan akal yang menjadi raja? Sebab akal selalu menemukan cara untuk membenarkan perbuatan kita. Sedangkan nafsu, ia memiliki peran ganda. Suatu saat menjadi pengawal setia, tapi di sisi lain bisa menjadi pengawal yang berkhianat pada raja. 

Jika seseorang menggunakan akalnya sebagai raja, besar kemungkinan nafsu menjadi hulubalang yang buruk. Namun, jika hati yang menjadi raja, maka nafsu serupa pengawal kerajaan yang setia.

Dengan perumpamaan ini, kita bisa mengukur akal sekaligus hati. Semata-mata, agar tak salah kaprah memandang Islam yang kini mudah disalahpahami. Jika tidak diperbaiki, bukan hal mustahil jika pada akhirnya kita terjerumus pada hiruk-pikuk cacian di media sosial. Mari bersama-sama merenungi diri.

Nurillah A.