Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Muhamad Firdaus | Sigit Candra Lesmana
Buku Damar Kambang.[Dok. Pribadi/sigitlesmana]

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan yang beragam. Mulai dari suku, ras, agama, budaya, dan bahasa. Kekayaan Indonesia terutama masyarakat Madura adalah tema yang sangat jarang diangkat ke dalam sebuah karya sastra seperti novel. Namun Muna Masyari justru menjadikan lokalitas Madura sebagai ciri khas dari semua tulisannya.

Muna Masyari adalah seorang penulis kelahiran Pamekasan, Madura. Dalam sebuah novel karyanya yang berjudul Damar Kambang, Muna mencoba mengangkat sekaligus mengkritik budaya yang dipraktekkan secara kolot dan mencekik.

Damar Kambang bercerita tentang tokoh bernama Cebbing yang menjadi korban dari keegoisan kedua orang tuanya yang menjalankan tradisi secara kaku. Cebbing dan tunangannya yang bernama Kacong urung menikah hanya karena hantaran yang kurang. Batalnya pernikahan tersebut kemudian memunculkan banyak permasalahan dimana Cebbing terus saja menjadi korban.

Cebbing hanya menjadi pelampiasan kesombongan, nafsu, dan amarah dari orang-orang di sekitarnya. Di dalam novel ini kita diajak untuk mengikuti beberapa sudut pandang dari para tokoh wanita. Sudut pandang yang berbeda tersebut kemudian berhubungan satu dan lainnya.

Membaca novel ini membuat kita tertampar bahwa kenyataannya di negeri kita ini, kaum perempuan memang kerap kali menjadi korban dari kegoisan laki-laki yang dibungkus dengan dalih budaya, tradisi, maupun agama. Novel ini juga akan membuat kita merenung, apakah tradisi yang sudah menimbulkan korban layak untuk dipertahankan? Apakah tradisi lebih penting daripada manusia itu sendiri?

Muna Masyari mungkin sengaja memberi nama tokoh sentral dalam novel ini dengan nama Cebbing dan Kacong. Cebbing dalm bahasa Madura berarti anak perempuan, sedangkan Kacong bermakna anak laki-laki. Penamaan ini mungkin sengaja untuk menunjukkan bahwa banyak anak yang sudah menjadi korban dari nilai-nilai patriarki yang tetap dipegang teguh.

Selain menyajikan kritik pedas terhadap tradisi yang dijalankan secara kaku, novel ini juga akan mengajak kita mengenal budaya Madura yang luhur dan penuh makna filosofis. Konflik yang disajikan juga membuat novel ini semakin menarik.

Novel ini masuk dalam lima besar nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa ke 21, jadi tidak perlu meragukan kualitas dari novel ini. Selamat membaca. 

Sigit Candra Lesmana