Sekaten merupakan tradisi masyarakat Jawa. Gesta Bayuadhy dalam buku Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa (Dipta, 2015) menjelaskan, sekaten diadakan setahun sekali di Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah perayakan tradisional, bagi masyarakat yang percaya, sekaten memiliki makna religius, sosial, dan sakral. Dalam perkembangannya, sekaten sekaligus menjadi daya tarik bagi turis asing dan lokal agar datang untuk menyaksikan acara perayaan sekaten di Solo dan Yogyakarta.
Mengutip GPH. Poeger, Sekaten, (Keraton Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko, 2002) Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama Islam. Perayaan ini diadakan setiap tahun di Surakarta maupun Yogyakarta sejak zaman Demak, yakni zaman dimulainya kerajaan Islam di tanah Jawa.
Pada hari raya Islam, yaitu hari lahirnya Nabi Muhammad Saw., di Masjid Agung dipukul gamelan. Masyarakat Jawa yang pada waktu itu menyukai gamelan pun berduyun-duyun datang ke halaman masjid untuk mendengarkan pidato-pidato tentang agama Islam (Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, halaman 177-178).
Gesta Bayuadhy memaparkan, tradisi sekaten berpotensi kuat untuk menarik wisatawan, baik lokal maupun asing. Wisatawan lokal adalah wisatawan yang datang karena mengikuti tradisi nenek moyang mereka. Wisatawan lokal ini ditambah dengan anak-anak muda yang merasa penasaran karena dulu tidak pernah mendengar cerita dari orangtua tentang sekaten. Rasa penasaran dari generasi sekarang membuat mereka berani datang dari kota lain demi menonton sekaten. Mereka menjadi wisatawan domestik yang bisa menyejahterakan para pedagang di areal sekaten.
Selain wisata domestik, tentu saja banyak wisatawan asing yang menonton sekaten untuk berbagai tujuan, khususnya melihat keunikan acara tersebut. Sekaten merupakan acara tradisional yang telah merakyat dan mengakar kuat di hati masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta dan Solo (Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, halaman 179-180).
Tak hanya membahas tentang Sekaten, dalam buku Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa karya Gesta Bayuadhy ini juga dibeberkan sederet tradisi lainnya yang berlaku di wilayah Jawa, misalnya tradisi wayang, nyadran, dan lain-lain.
***
Baca Juga
-
Seni Mengatur Waktu dengan Baik dalam Buku "Agar Waktu Anda Lebih Bermakna"
-
Buku Perjalanan ke Langit: Nasihat tentang Pentingnya Mengingat Kematian
-
Ulasan Buku Resep Kaya ala Orang Cina, Cara Menuju Kekayaan yang Berlimpah
-
Ulasan Buku "The Wisdom", Merenungi Kebijaksanaan Hidup
-
Tuhan Selalu Ada Bersama Kita dalam Buku "You Are Not Alone"
Artikel Terkait
Ulasan
-
SEVENTEEN Bagikan Keintiman dari Tatapan Mata di Lagu 'Eyes On You'
-
Review Film Happy Gilmore 2: Dari Lapangan Golf ke Drama Keluarga
-
Keserakahan yang Membawa Sengsara dalam Buku Peladang yang Loba
-
Ulasan Novel Kasih Tak Terlarai: Intrik Cinta Terhalang Restu Orang Tua
-
Ulasan Novel Kenangan Manis Takkan Pernah Habis: Mengenang Hewan Kesayangan
Terkini
-
Sinopsis Glass Heart, Drama Jepang Terbaru Takeru Satoh dan Yu Miyazaki
-
4 Daily Style Jennie BLACKPINK yang Classy Banget!
-
Piala AFF U-23 dan Ngerinya Ball Posession Timnas Indonesia U-23 di Tangan Gerald Vanenburg
-
Usung Konsep Ramalan Cuaca, Intip Highlight Medley Album Baru BoA 'Crazier'
-
Rekaman Infinity Castle Tersebar, Staf Kimetsu no Yaiba Ambil Jalur Hukum