Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Wahid Kurniawan
Cover Buku Ms Ice Sandwich karya Mieko Kawakami (@kawakamimieko)

Kapan waktu saat kita menyadari seseorang benar-benar berharga dalam hidup kita? Bagi tokoh cerita tak bernama dalam novela karya Mieko Kawakami, Ms. Ice Sandwich (Pushkin Press, 2018), waktu itu terjadi saat ia mendapatkan kabar seseorang yang penting dalam hidupnya, akan pergi.

Dalam salah satu dialog, tokoh lain berkata kepadanya, “Hal terburuknya adalah, saat kita tidak pernah tahu kapan seseorang akan menghilang begitu saja.”

Kehilangan itu datang secara tiba-tiba. Si karakter utama sama sekali tak menduga, bahwa perempuan yang selama ini dikaguminya ( bahkan bisa jadi jatuh cinta padanya), akan pergi ke kota lain. Apakah terdengar klise? Formula itu barangkali akan terbaca klise saat yang menjadi tokohnya merupakan dua sejoli yang saling mencintai.

Namun, dalam novel ini, Kawakami menghadirkan bocah SD sebagai karakter utama dalam ceritanya. Seperti yang disebut, bocah itu tak bernama, ia pun berperan sebagai narator dalam cerita ini. 

Uniknya, kisah ini menggambarkan kehidupan si bocah dari sisi yang berbeda. Kita akan mendapati bahwa bocah itu menyimpan rasa tertarik, kagum, bahkan pula rasa suka, kepada seorang perempuan penjaga kedai roti lapis di minimarket di kotanya.

Perempuan itu terlihat menarik bagi si bocah, kendati wajahnya disebut-sebut hasil operasi plastik hingga matanya tampak bulat dan bercelak biru terang. Kekhasan lainnya, perempuan itu digambarkan pendiam dan bukan sebagai “penjaga kedai yang murah senyum”.

Kendati begitu, rasa tertarik si bocah benar-benar tak tertahankan, bahkan sampai pada titik menjadi obsesi yang menjadikan si perempuan tadi sebagai inspirasi dari kesenangannya membuat sketsa. Kerap kali, ia pergi ke minimarket dan membeli sandwich hanya demi bisa melihat perempuan itu, tanpa memiliki keberanian untuk mengajak bicara.

Lagipula, ia hanya seorang bocah SD yang pemalu dan tertutup, apa yang kita harapkan darinya? Ia benar-benar memiliki masalah dengan kepercayaan dirinya. Di sekolahnya, satu-satunya teman atau orang yang berani ia ajak bicara pun cuma seorang saja, yaitu anak perempuan bernama Tutti.

Adapun dari sisi keluarganya, si bocah datang dari keluarga yatim. Di rumah, ia tinggal bersama ibunya yang membuka salon, dan neneknya yang lumpuh. Hubungan dengan ibunya terhitung normal, sebagaimana anak pada umumnya. Hanya, dengan si nenek ia bisa membuka dirinya dengan lebih leluasa. Digambarkan, hampir setiap malam, sembari menggambar sketsa-sketsanya, ia akan menceritakan kisah atau kabar si perempuan penjaga kedai roti lapis itu kepada neneknya, walaupun ia tidak mendapat respons apa pun selain kedipan mata dari si nenek. 

Salah satu kisahnya, misalnya, saat ia menceritakan bahwa hari itu, ia mendapati si perempuan diomeli oleh seseorang pelanggan dengan kasar. Namun, tidak ada seseorang pun yang peduli, bahkan setelah peristiwa itu, si perempuan justru digunjingi oleh pengunjung lain lantaran sikap dan penampilannya itu. Di satu sisi, si bocah yang peduli dengan perempuan itu, justru tidak bisa berbuat apa-apa. Ia masih berusaha mencerna tentang apa yang sebenarnya terjadi; tentang mengapa orang-orang menertawakan penampilan si perempuan; tentang apa yang salah dengan perempuan itu.

Si bocah tidak mengerti seluruhnya. Sebab, bukankah penampilan si perempuan normal-normal saja? Bukankah celak biru terang pada matanya menjadi ciri khas yang membuat si perempuan menawan? Itulah yang ada di pikiran si bocah. Dari situ pula, novel ini tidak saja menuturkan soal pandangan seseorang bocah nan polos dalam menghadapi perpisahan, tetapi juga adanya isu soal standar kecantikan tertentu yang diamini suatu masyarakat yang tak dipahami si bocah.

Di satu sisi, barangkali kita menganggap si bocah terlalu naif untuk memahami hal itu. Tapi, di sisi lain, hal itu juga membuat kita merenungkan, adakah standar tertentu dalam hal ini kecantikan yang valid? Sebenarnya, bagaimana kita menggambarkan definisi kecantikan itu?

Lagi, sebagaimana karya Kawakami yang lain, isu soal keperempuan dan pandangan masyarakat atas beberapa standar yang ada, seperti soal apa itu definisi kecantikan, masih menapasi novela ini. Kendati hal itu tidak disisipkan secara eksplisit, tetapi Kawakami tetap menyisipkannya di dalam cerita, berharap pembaca akan menyadari hal tersebut. Pilihan dalam penyisipan itu pun dilakukan dengan cara yang menarik: Ia menyisipkannya lewat sudut pandang seorang anak kecil. 

Dengan begitu, pada akhirnya, novela ini berisi hal-hal yang kaya: dari mulai isu perempuan dan kecantikan sampai kisah pertumbuhan seorang bocah dengan segala hal yang dihadapinya. Seperti yang dijelaskan di awal, bahwa dalam salah satu babakan si bocah beralih dari ke masa kanak-kanaknya menuju kedewasaan, ia tidak hanya mesti menumbuhkan kepercayaan diri, tetapi juga mesti menerima saat seseorang yang penting dalam hidupnya pergi.

Gambaran itu, misalnya, ditunjukkan saat ia berusaha menemui si perempuan untuk kali terakhir, dan memberikan hasil sketsa-sketsa yang selama ini ia buat. Di situ, kita akan mendapati bagaimana ia kepercayaan diri dan keberanian si bocah tumbuh, sekaligus bagaimana ia berusaha untuk tidak merasa sedih. 

Begitulah Kawakami menunjukkan soal arti seseorang dari sudut pandang anak kecil. Dalam novela yang diterjemahkan Louise Heal Kawai ini, arti itu berpadu dengan seberagam isu kemanusiaan lainnya. Kendati itu-isu itu tidak melulu berkaitan dengan hal-hal besar, bahkan lebih tampak sebagai sesuatu yang kerap tidak kita perhatikan, tetapi di situlah novela ini mengambil tempat: bahwa hal yang sekecil itu tetap penting dan patut direnungkan. 

Wahid Kurniawan