Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Hendra Fokker
Buku Menuju Republik Indonesia karya Tan Malaka.[dokumen pribadi]

Tepat pada hari ini, 73 tahun lalu seorang pejuang dan dikenal sebagai salah satu Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka dibunuh dalam masa revolusi sekitar tahun 1949. Seorang tokoh internasional yang selalu mengabarkan kemerdekaan bagi bangsanya Indonesia. Baik dalam berbagai aktivitasnya dalam gerakan kemerdekaan dunia, ataupun selama berjuang di Indonesia.

Memiliki nama asli Sutan Ibrahim, dan bergelar Datuk Sutan Malaka, lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan Tan Malaka dilahirkan. Hanya menurut catatan dokumen masa sekolahnya saja yang kemudian dijadikan referensi para sejarawan untuk menetapkan hari kelahirannya.

Selama perjalanannya memperjuangkan kemerdekaan bangsa, Tan Malak terlibat aktif dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Walau selama aktif di partai tersebut, Tan Malaka seringkali menyuarakan ketidaksejalanannya terhadap arah dan keputusan partai dalam cara-cara meraih kemerdekaan.

Sikap yang kemudian menjadikannya dianggap sebagai musuh PKI, karena dianggap selalu menghalangi keputusan partai kala itu. Begitu pula dalam pernyataannya ketika hadir dalam konferensi di Moskow, kampanye politiknya dalam upaya kerjasama demi mencapai kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah dengan kekuatan berbasis agama (Pan Islamisme) ditentang oleh pemimpin-pemimpin komunis kebanyakan disana.

Alhasil, Tan Malaka menjadi buronan komunis internasional dan dianggap sebagai pengikut Leon Trotsky, rival Stalin dalam upaya mengusai Soviet. Realitas keterpurukan bangsa Indonesia yang kala itu masih dalam penjajahan Belanda, membuatnya mendirikan sebuah partai yang bertujuan untuk menggalang simpati internasional untuk kemerdekaan Indonesia.

Selama di Bangkok, ia kemudian mendirikan Partai Republik Indonesia pada 1 Juni 1927. Tidak lain bertujuan untuk upaya-upaya kemerdekaan Indonesia. Tepatnya pada bulan Agustus 1945, kehadiran Tan Malaka di Indonesia dan sempat mengawal Bung Karno ketika melakukan rapat raksasa di Ikada, menjadi momentum perjuangan bersama dengan para tokoh-tokoh Republik lainnya.

Siapa sangka, kehadiran Tan Malaka kemudian dianggap sebagai permasalahan politis yang dapat menggagalkan tujuan revolusi Bung Karno. Setelah mendirikan Persatuan Perjuangan, yang mendapatkan dukungan dari Jenderal Sudirman serta Bung Tomo. Eksistensinya dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah Republik kala itu.

Benar saja, bersama dengan pengikutnya, Tan Malaka mengadakan rencana kudeta pada 3 Juli 1946. Sebenarnya bermaksud untuk menyampaikan koreksi kepada kepemimpinan Sutan Syahrir dalam kabinet. Upaya-upaya diplomasi Syahrir dianggap oleh Tan Malaka dapat mencederai semangat perjuangan para pejuang dalam berbagai front di Indonesia.

Usai ditangkap, Tan Malaka kemudian dibebaskan sebelum Belanda berhasil menguasai Yogyakarta ketika Agresi Militernya. Dalam peristiwa kudeta Madiun tahun 1948, sikap Tan Malaka bersama pengikutnya memberi reaksi keras kepada PKI-Musso. Terlebih karena aksi PKI menghabisi Dr. Moewardi, Barisan Banteng yang berada dalam barisan Tan Malaka secara tegas menghantam PKI di Solo hingga Madiun.

Dengan hancurnya kekuatan PKI-Musso, maka tinggal satu tokoh komunis yang dianggap berbahaya bagi upaya diplomasi Indonesia ketika itu. Instruksi pembunuhan Tan Malaka kemudian beredar di kalangan tentara hingga laskar selama operasi gerilya menghadapi Belanda.

Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka yang kala itu turut bergerilya di Kediri, ditangkap oleh Batalyon Sikatan. Eksekusi tersebut dibawah instruksi Letnan Dua Sekotjo yang kebetulan tidak sejalan dengan ide-ide perjuangan Tan Malaka. Diantara belantara lereng Gunung Wilis, desa Selopanggung menjadi saksi bisu terbunuhnya Bapak Republik Indonesia.

Sejarah mencatat, bahwa Tan Malaka mendapat gelar Pahlawan Nasional tatkala Presiden Soekarno masih memimpin. Gelar tersebut ditetapkan pada 28 Maret 1963. Sebuah realitas yang sering terjadi kala masa revolusi fisik terjadi, tidak hanya Tan Malaka yang menjadi korban bangsanya sendiri. Seperti Dr. Moewardi atau Gubernur Soerjo, tidak luput dari masa prahara tersebut.

Semoga apa yang telah diperjuangkan Bapak Bangsa Tan Malaka bisa menjadi refleksi sejarah hari ini. Khususnya bagi generasi saat ini, yang mungkin saja telah luput dari perhatian sejarah bangsanya sendiri.

Hendra Fokker