Guru adalah profesi yang sangat mulia. Tak semua orang bisa melakukannya. Meskipun harus kita sadari bahwa tak semua orang yang berprofesi sebagai guru itu mampu menunaikan tanggung jawabnya dengan baik. Oleh karenanya kita harus teliti dan hati-hati ketika memilih seseorang untuk dijadikan sebagai guru. Jangan sampai berguru dengan orang yang pemarah dan tak bijaksana dalam menyikapi beragam keadaan.
Bicara tentang para guru di negeri ini, maka akan kita saksikan nasib sebagian guru yang masih jauh dari kata ‘sejahtera’. Terlebih bagi guru yang statusnya belum menjadi pegawai negeri. Betapa berat kehidupan guru yang belum sejahtera; di satu sisi mereka harus mengajar, mengerahkan sebagian waktu, tenaga, serta pikirannya, sementara di sisi lain mereka juga harus mencari uang sampingan usai mengajar, disebabkan gaji guru tiap bulan masih belum mencukupi kehidupannya.
Ada kisah menarik yang bisa kita baca dalam buku berjudul Kembang Glepang 2 yang merupakan antologi karya sastra para penulis Banyumas (dan juga kota yang bersebelahan dengannya). Kisah tentang seorang guru yang hidup dalam kemiskinan karena gaji yang diperoleh masih belum mencukupi untuk biaya hidup keluarganya. Maklum, statusnya masih guru honorer, bukan pegawai negeri atau ASN. Kisah tentang guru miskin tersebut bisa dibaca dalam cerita pendek berjudul Guru Jupri karya Ahmad Sultoni. Kisah ringkasnya seperti berikut ini:
Guru Jupri adalah seorang guru yang terlanjur mengabdikan diri sebagai honorer sejati. Lima belas tahun lamanya ia menjadi guru di sebuah madrasah. Gajinya lima ratus ribu sebulan. Gaji yang terbilang tak banyak karena ia harus menafkahi istri dan anak semata wayangnya. Akhirnya, demi menutupi segala kebutuhannya, Guru Jupri mencari pekerjaam sambilan. Usai mengajar ia biasanya akan mencari rumput di sawah sebagai pakan kambing peliharaannya.
Untunglah, Guru Jupri memiliki istri yang bisa memahaminya. Siti, istrinya sadar betul akan beban yang bersemayam di pundak suaminya. Demikian pula Karta, anak semata wayangnya. Ia tak pernah neko-neko. Tak seperti teman seusianya yang sudah pintar meminta telepon pintar keluaran terbaru. Justru setiap pulang sekolah, Karta ikut mencari rumput untuk kambing peliharaan sang ayah. Kadang ia mencari kayu bakar di pekarangan tetangga. Dan ketika kebutuhan hidup kian meningkat, Siti bahkan rela ikut mencari uang untuk membantu kebutuhan suaminya, dengan cara berjualan keliling kampung.
Kisah tentang kehidupan guru yang masih jauh dari kata ‘sejahtera’ dalam buku Kembang Glepang 2 ini semoga bisa menjadi bahan renungan dan perhatian, khususnya bagi para petinggi negeri ini agar berusaha menyejahterakan kehidupan para guru secara merata, bukan hanya mereka yang sudah berstatus pegawai negeri saja.
Baca Juga
-
Seni Mengatur Waktu dengan Baik dalam Buku "Agar Waktu Anda Lebih Bermakna"
-
Buku Perjalanan ke Langit: Nasihat tentang Pentingnya Mengingat Kematian
-
Ulasan Buku Resep Kaya ala Orang Cina, Cara Menuju Kekayaan yang Berlimpah
-
Ulasan Buku "The Wisdom", Merenungi Kebijaksanaan Hidup
-
Tuhan Selalu Ada Bersama Kita dalam Buku "You Are Not Alone"
Artikel Terkait
Ulasan
-
Rumah Rindu: Saat Hati Perempuan Menjadi Medan Pertarungan Moral
-
Merasa Lelah? 4 Buku Kesehatan Mental Ini Siap Temani Kamu Pulihkan Diri
-
Review Film Good News: Lucu, Getir, dan Terlalu Jujur
-
Novel 'Bapak, Kapan Kita akan Berdamai?', Luka yang Akhirnya Menjadi Damai
-
Ulasan Novel Rumah di Seribu Ombak: Nggak Cuma Kesetiaan, Tapi Ketimpangan
Terkini
-
Jelang FIFA Matchday November, Jabatan Pelatih 3 Negara ASEAN Ini Masih Lowong! Mana Saja?
-
15 SMK Siap Melaju ke Final Olimpiade Jaringan MikroTik 2025 di Yogyakarta
-
Sama-Sama Dipecat Sepihak, Lebih Mending Mana Nasib Masatada Ishii dan STY?
-
Kenapa Doa Tak Dikabulkan? Jawaban Habib Umar Bikin Banyak Orang Tersadar
-
Sandra Dewi Mau Harta Pribadinya Kembali, Alkitab Ingatkan Soal Integritas