Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Thomas Utomo
Novel Bidadari Berbisik (DocPribadi/Thomas Utomo)

Novel Bidadari Berbisik adalah salah satu karya istimewa Asma Nadia. Novel yang pernah diterbitkan Mizan dengan judul Derai Sunyi ini meraih penghargaan Novel Terbaik kurun 1995-2005 Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).

Dalam edisi terbaru yang diterbitkan Republika, perubahan tidak hanya menyentuh tataran judul saja. Dari alur dan karakter tokoh ada pendalaman, sehingga secara muatan cerita jauh lebih baik dibandingkan edisi sebelumnya. Tentu, tanpa mengubah garis besar cerita.

Secara sinoptik, Bidadari Berbisik menceritakan kehidupan sepasang gadis kembar asal Tegal. Nama mereka Bidadari Ayuni (dipanggil Ayuni) dan Bidadari Ayuning (dipanggil Ning). Selepas sekolah menengah, Ayuni memutuskan berangkat ke ibukota, menjadi pekerja rumah tangga di sebuah rumah nyonya kaya. Harapannya, dia dapat memperoleh gaji yang bisa ditabung untuk biaya naik haji ibunda.

Realitanya, di rumah sang majikan, dia diperlakukan lebih rendah daripada hewan. Nyonya Lili, sang empunya rumah, kerap menyiksanya lahir-batin, baik lewat kata-kata pedas maupun kekerasan fisik. Dalam melancarkan aksinya, Nyonya Lili dibantu dua pekerja rumah tangga lainnya. Masing-masing bernama Wati dan Onah.

Suatu ketika, akibat perlakuan kejam ketiganya, Ayuni jatuh sekarat. Tanpa iba, mereka malah sengaja menjatuhkan tubuh gadis itu dari lantai atas. Ayuni segera menemui ajal. Sementara itu, di Tegal, keluarga Ayuni selalu dibekap gelisah. Pasalnya, sejak berangkat ke Jakarta, Ayuni seperti ditelan bumi. Tak sekalipun kabar dia berikan. Sekadar surat, apalagi kiriman wesel, tak pernah ada.

Ning, kembaran Ayuni, nekat memangkas jarak. Dia berangkat ke Jakarta untuk mencari tahu keberadaan adiknya. Lewat sejumlah penelusuran, akhirnya dia berhasil diterima sebagai pekerja rumah tangga di hunian Nyonya Lili. Tak sekalipun Nyonya Lili, Wati, maupun Onah mengetahui kesejatian identitas Ning.

Sedari kedatangan gadis itu, rumah Nyonya Lili seakan dibungkus aroma mistis. Kerap muncul penampakan hantu perempuan menyerupai Ayuni. Tidak hanya menampakkan diri, sosok tersebut juga mengganggu ketenteraman masing-masing penghuni rumah. Akibatnya, satu persatu pekerja, baik tukang kebun, satpam, atau pembantu, di rumah Nyonya Lili berguguran. Mereka pamit undur diri. Takut pada “hantu Ayuni”.

Hingga kemudian, terkuak mengapa penampakan tersebut bisa terjadi? Hal yang kemudian berakibat terancamnya nyawa Ning.

Di sisi lain, ada tokoh bernama Iman Arif, anak tanpa identitas keluarga, yang kemudian menjadi polisi berdedikasi. Polisi inilah yang mencoba menelusuri jejak lenyapnya Ayuni. Namun, fakta berikutnya, menguakkan kejadian tak terduga.

Menurut Asma Nadia, novel ini ditulis berdasarkan berita pembunuhan seorang perempuan pekerja rumah tangga di Surabaya oleh majikannya. Semula, perempuan tersebut dianggap meninggal lantaran kecelakaan saat bertugas di rumah majikan. Tetapi, polisi menemukan gumpalan kotoran manusia dalam tenggorokan mayat tersebut.

Secara teknik, novel ini menyuguhkan gaya penulisan yang menarik. Asma Nadia menyusunnya sedemikian rupa sehingga tampak seperti potongan puzzle yang sengaja diacak. 

Jalinan cerita juga seperti memompa adrenalin pembaca. Umpamanya dari takut akan keangkeran suasana rumah Nyonya Lili pasca lenyapnya Ayuni, disusul munculnya teror “hantu Ayuni”, hingga terkaparnya nyawa Ning di tepi jurang kehidupan. Benar-benar membentot rasa penasaran.

Kelebihan lain, tuturan dan gaya bahaya yang dipakai Asma Nadia, membuat novel ini terasa filmis. Rangkaian kata dalam cerita menjelma jadi adegan-adegan visual dalam benak pembaca.

Membayangkan jika novel Bidadari Berbisik dialihwahanakan menjadi layar lebar, tentu akan sangat mengasyikkan. Lebih-lebih karena muatan pesan kemanusiaan di dalamnya amat pekat lagi kental. 

Jika pun menjadi film, maka Bidadari Berbisik dapat merupa jadi tontonan yang membekas kuat di lubuk sanubari penonton, insyaallah.

Sekelumit kekurangan yang perlu disampaikan adalah mengenai dialek bahasa Jawa yang ada. Salah satu latar tempat yang dipakai Asma Nadia adalah Tegal. Tetapi, dialek yang dipakai justru bukan dialek Tegal, melainkan dialek agak Yogya atau Solo. 

Bagi yang cukup memahami bahasa Jawa, detail tersebut agak bikin risih, walau tidak terlalu mengganggu bangunan cerita. 

Oleh karena itulah, melalui ulasan ini, saya merekomendasikan novel Bidadari Berbisik sebagai pilihan bacaan yang tidak cuma menghibur, tapi juga memberikan wawasan serta inspirasi berguna. (Purbalingga, 8 April 2022)

Thomas Utomo