Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sam Edy Yuswanto
Buku "Reruntuhan Musim Dingin" (Dokumen pribadi/ Sam Edy)

Bagi sebagian orang, mudik menjadi sesuatu hal yang sangat dinanti-nanti. Mereka, orang-orang yang hidupnya di perantauan seperti kota-kota besar, biasanya menjadikan mudik sebagai momen yang sangat dinanti-nanti. Hari-hari terakhir Ramadan biasanya mereka sudah mempersiapkan kepulangan ke kampung halaman

Bicara tentang mudik, ada satu kisah menarik dalam buku kumpulan cerita karya Sungging Raga, Reruntuhan Musim Dingin (Diva Press, 2016). Dari sekian banyak cerita, saya akan mengulas satu saja yang bertemakan mudik dan kerinduan seseorang pada kampung halaman yang telah cukup lama ditinggalkannya. Cerita tersebut berjudul Turbulensi Kenangan, kisah pemuda asal Banyuwangi yang kuliah di Yogyakarta.

Kisah bermula ketika seorang mahasiswa, yang adalah tokoh utama dalam cerita tersebut, merasa merindukan kampung halamannya. Kesibukan kuliah setahun belakangan mencapai puncaknya dan membuatnya seperti terpenjara, padahal biasanya ia tetap menyempatkan pulang kampung di tahun baru atau di libur panjang sehabis ujian semester. Tapi setahun ini ia punya banyak kegiatan, selain KKN, ia juga harus menjadi panitia sebuah event kampus. 

Meski begitu, semuanya terbayar sekarang. Ia jadi punya waktu luang cukup banyak, menghabiskan separuh bulan puasa di kampung. Mengenang kembali suasana masjid menjelang berbuka, hiruk-pikuk orang-orang yang berjalan beramai-ramai untuk tarawih, anak-anak kecil yang menyalakan petasan.

Setiba di kampung halaman, ia disambut dengan hangat oleh kedua orangtua dan kedua adiknya. Bahkan ibu langsung berinisiatif menyiapkan acara buka puasa bersama hari itu juga bareng tetangga sekitar. Lalu, malam harinya, saat ia sedang duduk di beranda mengenang masa lalu, ibu mendekatinya dan bertanya, apakah tak menemui Nalea. Kata ibu, penyakit Nalea semakin parah.

Jadi ceritanya, Nalea adalah gadis kembang desa yang pernah sangat akrab dengannya. Nalea mengalami sakit misterius sejak setahun terakhir. Ia seperti ditimpa skizofrenia, seperti hilang ingatan, terkadang marah-marah sendiri, tapi kadang juga melamun. Nalea menjadi seperti itu karena patah hati pada laki-laki. 

Laki-laki itu meninggalkan Nalea tepat setelah hari raya tahun lalu. Nalea yang waktu itu hadir shalat ‘Id, melihat laki-laki yang dicintainya berjalan ke masjid bersama wanita lain. Sampai saat ini Ibu masih belum tahu siapa gerangan lelaki yang telah membuat patah hati Nalea. Padahal, yang membuat patah hati Nalea adalah putranya sendiri.  

Selain cerita bertemakan mudik dan kerinduan seorang pemuda pada kampung halamannya, masih banyak cerita-cerita lain dengan tema beragam dalam buku berjudul Reruntuhan Musim Dingin ini yang bisa dijadikan sebagai bacaan menghibur di waktu senggang Anda. Selamat membaca.

Sam Edy Yuswanto