Hidup merantau selama bertahun-tahun tentu menyisakan kerinduan yang mendalam. Bagaimana pun kondisi tanah kelahiran kita, biasanya akan menyisakan percik-percik kerinduan yang tak bisa terhapus begitu saja dari memori ingatan.
Karenanya, tak heran bila setiap tahun, tepatnya saat Idul Fitri atau lebaran tiba, para perantau menjadikannya sebagai momen penting dan berharga untuk mudik, menengok sejenak kampung halamannya, tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.
Bicara tentang tanah kelahiran, saya menemukan kisah menarik dalam buku Menunggu Musim Kupu-Kupu karya Adi Zamzam. Buku berisi sekumpulan cerita pendek tersebut menarik dijadikan sebagai bacaan menghibur sekaligus menyelami pesan-pesan berharga di balik setiap ceritanya.
Ironi Senja misalnya, termasuk cerita pendek yang menyimpan pelajaran berharga buat para pembaca. Mengisahkan seorang lelaki yang memutuskan meninggalkan kampung halamannya dan memilih bermukim di kota. Sayangnya, hidup di kota tak lantas membuat kehidupannya menjadi lebih baik.
Selama hampir dua puluh lima tahun usia lelaki itu habis di depan meja jahit pabrik sepatu dan tas. Dalam rentang waktu sepanjang itu, ia seolah telah mengerdilkan diri sendiri dengan upah yang selalu pas-pasan. Ketiga anaknya hanya bisa tamat sekolah lanjutan pertama. Tempat tinggal pun masih rumah kontrakan.
Hingga akhirnya lelaki itu harus menerima masa pensiunnya. Dan, satu-satunya keberuntungannya hanyalah uang pesangon yang tak seberapa banyak. Uang pesangon yang kemudian berwujud angkringan yang dikelola oleh anak lelaki bungsunya.
Satu hal yang membuat anak bungsunya merasa galau adalah melihat kondisi sang ayah yang sering sakit-sakitan. Ia tak bisa mengeluh kepada kedua kakak perempuannya, Mbak Yanti dan Mbak Likah. Bersebab keduanya bukanlah kapal pesiar. Keluarga mereka juga perahu kecil yang harus jaga keseimbangan agar tak karam oleh ombak kehidupan.
Menjalani kehidupan sebagai pedagang angkringan pun tak luput dari cobaan. Misalnya, saat harus berhadapan dengan satpol PP yang begitu beringas.
Bila ditelisik jauh ke masa lalu, sebenarnya sang ayah dulunya pernah memiliki kehidupan lumayan di desa. Karena tergiur cerita teman tentang pekerjaan dengan upah besar di kota, beliau akhirnya rela menggadaikan kebebasannya. Penyesalan mulai tumbuh setelah sadar bahwa sejatinya beliau telah menjadi gelandangan di kota.
Cerita tentang lelaki tua dan ketiga anaknya tersebut memang begitu memprihatinkan. Bisa jadi termasuk potret sebagian orang-orang rantau yang menyesali masa lalunya dan sangat merindukan kembali ke kampung halamannya.
Baca Juga
-
Buku Perjalanan ke Langit: Nasihat tentang Pentingnya Mengingat Kematian
-
Ulasan Buku Resep Kaya ala Orang Cina, Cara Menuju Kekayaan yang Berlimpah
-
Ulasan Buku "The Wisdom", Merenungi Kebijaksanaan Hidup
-
Tuhan Selalu Ada Bersama Kita dalam Buku "You Are Not Alone"
-
Ulasan Buku Setengah Jalan, Koleksi Esai Komedi untuk Para Calon Komika
Artikel Terkait
-
Curhatan Warganet Merangkak Berjam - Jam di Tol Layang MBZ, Netizen Tagih Janji Menhub Budi Karya: Katanya Gratis Ya?
-
Mulai Kamis Sore Ini, Skema Ganjil Genap dan One Way Diterapkan di KM 47 Tol Cikampek hingga KM 414 Tol Kalikangkung
-
Ini Sanksi One Way Ganjil Genap Tol yang Mulai Berlaku Hari Ini, Pemudik Hati-hati!
-
Waduh! Ustaz Ini Sebut Bermaaf-maafan Saat Lebaran Tidak Ada dalam Ajaran Islam, Begini Penjelasannya
Ulasan
-
The Academy's Genius Swordsman:Webtoon Aksi yang Bikin Tegang!
-
Bukan Halu, Ini Makna Cinta Tulus di Lagu One Direction "Illusion"
-
Buku Berdamai dengan Diri Sendiri: Perempuan dengan Segala Problematikanya
-
Ulasan Buku Growing Pains, Menjalani Hidup Sebagai Orang Tua Tunggal
-
Dari Air Mata ke Surga Kecil: Makna Cinta di Langit Taman Hati
Terkini
-
Bukan Cuma Pemain Indonesia, Andalan Malaysia Juga Pernah Bertanding Lawan Mendiang Diogo Jota
-
Night Runner oleh Jung Yong Hwa: Harapan Emosional pada Bintang Jatuh
-
Jalani Menit Debut Lebih Melimpah, Andalan Malaysia Ini Bakal Sukses di Liga Jepang?
-
Futsal di Indonesia: Perjalanan Panjang Menuju Popularitas dan Prestasi
-
Meme In This Economy dan Kenyataan Pahit Hidup di Tengah Ketimpangan