Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Budi Prathama
Foto Mohammad Husni Thamrin. (Wikipedia)

Mungkin masih banyak pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia yang hari ini belum kita kenal, padahal perjuangan untuk meraih kemerdekaan tidaklah mudah. Seperti diketahui bahwa penjajahan kolonial Belanda menindas pada seluruh aspek di tanah air Indonesia, baik pendidikan terlebih soal perekonomian. Melalui kondisi tersebut, menyebabkan masyarakat Indonesia hanya sedikit yang bisa menempuh pendidikan dan pekerjaan yang layak, mungkin pemilik nama Mohammad Husni (M.H) Thamrin termasuk salah satu orang yang beruntung karena terlahir dari keluarga yang berada.

Seperti buku yang ditulis Johan Prasetya, "Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan", Mohammad Husni Thamrin lahir pada 16 Februari 1894. Dirinya terlahir dari pasangan Tabri Thamrin salah satu pejabat di pemerintahan Belanda, sedangkan ibunya Nurchomah termasuk orang Betawi. Sementara, ia juga memiliki kakek seorang Inggris pemilik hotel di bilangan Petojo. Kakeknya itu bernama Ort, yang juga menikahi perempuan Betawi bernama Noeraini.

Meski terlahir dari keluarga berkecukupan, Thamrin tidaklah egois dan perhatiannya pun besar kepada rakyat dan buruh pribumi untuk diperjuangkan di tengah penindasan yang ia derita. Kepeduliannya kepada rakyat pribumi tidak hanya ditunjukkan saat berorganisasi, tetapi dibuktikan saat menjabat menjadi pejabat legislatif di Gemeenteraad (seperti DPRD DKI) dan Volksraad (seperti DPR RI).

Hal itu disebabkan jelas sangat dipengaruhi karena pendidikan yang modern dan membuat ia semakin kritis membela rakyat yang tertindas. Thamrin bisa mendapatkan akses dan fasilitas yang layak dalam dunia pendidikan hingga tingkat menengah atas di Koning Willem III School te Batavia. Akan tetapi, Thamrin tidak menempuh pendidikan universitas, walau begitu ia sangat cerdas karena banyak belajar dari berbagai sumber untuk menambah pengetahuannya.

Karier Thamrin bermula dari kantor kepatihan, kantor karesidenan, dan maskapai pelayaran Belanda (KPM). Pada usia 25 tahun, Thamrin berhasil berkarier di Gemeenteraad, setelah perkenalannya seorang sosialis bernama Daniel van der Zee (1880-1969) yang membuatnya ia semakin fasih berbahasa Belanda.

Di Gemeenteraad, Thamrin berjuang untuk menuntut perbaikan kota, khususnya perkampungan-perkampungan rakyat. Pada tahun 1923, Thamrin pun diangkat sebagai ketua Organisasi Kaum Betawi, di mana tujuan organisasi tersebut untuk memajukan perdagangan, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya, Thamrin pun menjadi anggota Volksraad pada tahun 1927. Di sana ia tidak hanya memperjuangkan nasib masyarakat Betawi, tetapi nasib masyarakat pribumi secara umum. Thamrin banyak menyuarakan tuntutan kaum buruh secara nasional untuk menggapai kesejahteraannya, termasuk mendapatkan hak kesehatan dan gaji yang layak. Selain itu, Thamrin juga memperjuangkan terkait penghapusan larangan sekolah swasta seperti Tamansiswa dan Muhammadiyah, hingga akhirnya tahun 1933 sekolah tersebut diperbolehkan beroperasi.

Pada suatu kesempatan, Thamrin berkunjung ke Sumatera Timur untuk melihat kondisi buruh di sana. Thamrin melihat kondisi buruh di sana sangat memprihatinkan, mereka dipaksa bekerja, sementara kondisi sosialnya tidak memadai. Akhirnya, Thamrin mengangkat permasalahan itu dalam sidang Volksraad.

Melalui pidatonya yang keras, Thamrin sangat tajam mengkritik atas perlakuan buruk yang diterima para kaum buruh. Secara cepat, kritik terdengar sampai ke luar negeri, Amerika Serikat pun mengeluarkan reaksi keras yang memaksa pemerintah kolonial Belanda harus terpaksa mencabut peraturan itu.

Sebelum perang Pasifik terjadi, Menteri Perdagangan Jepang, Kobajashi berkunjung ke Jakarta dengan tujuan untuk menuntut konsesi dalam pembelian minyak bumi dan batu bara yang dihasilkan Hindia Belanda. Akan tetapi, pemerintah kolonial Belanda tampak mencurigai orang-orang Indonesia yang dianggap pro Jepang, termasuk Thamrin.

Thamrin pun dikenai tahanan rumah pada 6 Januari 1941 karena dianggap mengkhianati pemerintah Belanda dan dianggap bersekongkol dengan Jepang. Lima hari kemudian, sosok Thamrin meninggal dunia karena sakit, tepat 11 Januari 1941. 

Budi Prathama