Banyak hikmah yang bisa dipetik dari beragam kejadian yang ada di sekitar kita. Baik kejadian yang sifatnya menyenangkan maupun menyedihkan. Dari beragam kejadian tersebut, kita seolah diajak untuk merenung bahwa dalam menjalani hidup ini, kita harus berusaha menyikapi sewajarnya. Saat sedang senang, jangan terlalu senang berlebihan. Saat sedang sedih, jangan sampai berlebihan hingga membuat hidup menjadi terpuruk.
Bicara tentang ujian hidup, tentu banyak ragamnya. Salah satunya ialah saat terjadi bencana alam, banjir, tanah longsor, hingga tsunami. Kita tentu masih ingat dengan bencana tsunami yang melanda Aceh sekian tahun yang telah silam. Entah tak terhitung jumlah korban meninggal dunia. Begitu juga dengan para korban yang harus kehilangan anggota keluarganya.
Kisah tentang korban tsunami juga tergambarkan dalam sebuah karya fiksi. Seperti buku kumpulan cerpen berjudul Ketika Cinta Menemukanmu yang ditulis oleh Helvy Tiana Rosa, dan kawan-kawan. Cerpen berjudul Ketika Cinta Menemukanmu adalah salah satu cerpen karya Helvy Tiana Rosa yang mengisahkan tentang seorang bocah perempuan korban tsunami Aceh.
Seorang bocah yang harus kehilangan semua anggota keluarganya. Ia, bersama para korban yang selamat, akhirnya hidup di tenda-tenda pengungsian. Untunglah ia bertemu dengan dua relawan yang begitu baik, ramah, dan sangat menyayangi dirinya dan juga para korban lainnya.
Dua relawan yang dimaksud adalah Cut Isma, seorang mahasiswi tingkat akhir di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Relawan satunya adalah seorang dokter tampan dari Jakarta yang begitu perhatian. Dokter yang biasa dipanggil dengan sebutan “Di” oleh bocah perempuan itu sangat menyukai anak-anak yang dijumpainya di mana saja.
Berikut ini petikan curahan hati bocah perempuan yang merasa terhibur dan senang dengan keberadaan dua relawan tersebut:
Betapa gembira bila aku bersama Di. Aku ingin selamanya Di tinggal di sini, di dekatku. Rasa tak enak tinggal berhimpit dan kedinginan dalam tenda tak ada artinya bila Di ada. Aku tak punya siapa pun di sini, kecuali Di. Ya, Di dan Cut Isma. Orang menyebut mereka relawan karena mereka selalu rela melakukan apa saja untuk membantu kami di pengungsian. Aku tak bisa membayangkan bila aku tak bertemu mereka.
Di akhir cerita, bocah perempuan berusia 12 tahun itu merasa sedih karena harus berpisah dengan dokter Di dan Cut Isma. Ternyata mereka akan pergi untuk melangsungkan pernikahan.
Kisah tentang korban tsunami dan relawan dalam cerpen tersebut menyelipkan hikmah bagi pembaca, salah satunya tentang pentingnya membantu orang-orang yang sedang ditimpa ujian atau musibah. Semoga ulasan ini bermanfaat.
Tag
Baca Juga
-
Rahasia Kebahagiaan dalam Buku 'Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan'
-
Cara Menghadapi Ujian Hidup dalam Buku Jangan Jadi Manusia, Kucing Aja!
-
Ulasan Buku Sukses Meningkatkan Kualitas Diri, Panduan Praktis Meraih Impian
-
Ulasan Buku Jangan Mau Jadi Orang Rata-rata, Gunakan Masa Muda dengan Baik
-
Panduan Mengajar untuk Para Guru dalam Buku Kompetensi Guru
Artikel Terkait
-
Inspiratif! Ulasan Buku Antologi Puisi 'Kita Hanya Sesingkat Kata Rindu'
-
Novel Bungkam Suara: Memberikan Ruang bagi Individu untuk Berpendapat
-
Belajar Merancang Sebuah Bisnis dari Buku She Minds Her Own Business
-
Cerdas dalam Berkendara Lewat Buku Jangan Panik! Edisi 4
-
Menyesali Pilihan Hidup di Masa Lalu dalam Novel The Book of Two Ways
Ulasan
-
Review Film Heretic, Hugh Grant Jadi Penguji Keyakinan dan Agama
-
Inspiratif! Ulasan Buku Antologi Puisi 'Kita Hanya Sesingkat Kata Rindu'
-
Review Film Totally Killer: Mencari Pembunuh Berantai Ke Masa Lalu
-
Review Film Aftermath, saat Terjadi Penyanderaan di Jembatan Boston
-
Review Film 'Satu Hari dengan Ibu' yang Sarat Makna, Kini Tersedia di Vidio
Terkini
-
3 Rekomendasi Two Way Cake Lokal dengan Banyak Pilihan Shade, Anti-Bingung!
-
4 Daily OOTD Simpel nan Modis ala Chae Soo-bin untuk Inspirasi Harianmu!
-
3 Peel Off Mask yang Mengandung Collagen, Bikin Wajah Glowing dan Awet Muda
-
4 Rekomendasi Lagu Romantis Jadul Milik Justin Bieber, Ada Tema Natal!
-
Gadget di Tangan, Keluarga di Angan: Paradoks Kemajuan Teknologi