Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rozi Rista Aga Zidna
Buku Laut Masih Gemuruh (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Arwan Tuti Artha penulis buku Laut Masih Gemuruh merupakan pria kelahiran Pemalang pada 1 Desember 1953. Ia banyak bergaul dengan para seniman, budayawan, wartawan, intelektual dan peneliti. Ia mengasah bakatnya di bidang tulis menulis dengan berkarya puisi, cerita pendek, esai, artikel, dan catatan budaya, yang tersebar di berbagai media massa. 

Beberapa kali ia memenangkan berbagai lomba penulisan untuk bidang pariwisata, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan hidup, yang ditulis atas nama wartawan. Sejak 1985 menjadi redaktur SKM Minggu Pagi, kemudian merangkap sebagai redaktur SKH Kedaulatan Rakyat sejak 1995. 

Buku Laut Masih Gemuruh ini memuat empat belas cerita pendeknya tentang kehidupan remaja, diterbitkan oleh PT Grasindo Jakarta. Adalah Lukas dan Dewi sepasang remaja yang suka duduk berdampingan di tepi laut. Laut, seperti juga laut yang kemarin, kemarinnya lagi, bahkan beribu-ribu tahun yang silam, merupakan laut yang melambangkan rahasia, laut yang tak pernah tidur. Gelombang yang datang tiba-tiba dari tengah menimbulkan perasaan tersendiri bagi Dewi.

"Rasanya aku berjalan di atas gelombang itu."

"Berjalan ke mana?" tanya Dewi.

"Menuju ke lubukmu, barangkali," kata Lukas.

"Ah, masak iya?" tangan Dewi mencubit Lukas gemas. Lukas tersenyum, bagai cahaya yang bermain di antara gelombang yang berkejaran.

Begitulah kehidupan dunia remaja, suka berlama-lama di tepi laut untuk menambah kesan keromantisan. Sebab, laut selalu berbicara jujur kepada pengagum dan pengunjungnya lewat gemuruh gelombangnya.

Sementara, cinta lelaki yang menyukai wanita lebih dari satu tertuang dalam cerpen dengan tajuk Yang Tinggal di Gang Sentanu Nomor Satu. Ar tinggal di Gang Sentanu nomor satu, sekompleks dengan Ria, Atikah dan Indri, para gadis yang sudah beranjak dewasa. Mereka bertiga suka datang ke rumah Ar dengan dalih pinjam majalah, belanja ke tokonya, main, bahkan numpang tidur. 

Berawal dari pinjam majalah itulah lantas mereka saling kenal. Perkenalan yang tanpa upacara dan berjabat tangan satu persatu. Oleh Ar, ketiga gadis itu diumpakan burung-burung kecil yang lincah, sayapnya mengepak, bulunya bagus dan ekornya panjang. Lantas, ia menyusun puisi.

terasa bagai dirubung burung-burung

menggetarkan kamar sunyi

terasa bagai dirubung suara-suara

menciptakan bara api

terasa bagai dirubung panah-panah

mendongak menuding mata

terasa bagai dirubung wajah-wajah

mengerlingkan seribu tanya

Dari pertemuan-pertemuan yang mengesankan dan keajaiban-keajaiban yang lantas muncul begitu saja, Ar akhirnya memutuskan melabuhkan cintanya untuk Ria seorang.

Empat belas cerita pendek yang terhimpun dalam buku kumcer ini mengangkat kehidupan remaja dengan segala kesehariannya. Dituturkan dengan bahasa yang mudah dimengerti, namun ada pula yang perlu mengernyitkan kening dan ending kisah yang mengambang.

Rozi Rista Aga Zidna