Mengalah bukan berarti kalah. Justru dengan mengalah akan melahirkan kemaslahatan dan kemuliaan. Ya, kemuliaan karena mampu menghindari pertikaian dan lebih mengedepankan perdamaian dan persaudaraan. Petapah Jawa mengatakan, ‘wani ngalah luhur wekasane’, yang memiliki kandungan makna kurang lebih begini: barang siapa yang berani mengalah maka ia akan mendapatkan kemuliaan.
Buku berjudul ‘Wani Ngalah Luhur Wekasane’ (penerbit Republika, 2021) yang ditulis oleh Abu Azzam ini menarik dijadikan sebagai bahan introspeksi bagi para pembaca. Agar bersikap lebih bijaksana dalam menghadapi setiap persoalan yang ada. Dalam kata pengantarnya, penulis menjelaskan bahwa buku ‘Wani Ngalah Luhur Wekasane’ ini dimaksudkan untuk menyemai kembali jiwa dan hati kita yang semakin hari (menurut penulis) semakin layu, semakin carut marut. Setidaknya, itu tecermin dalam tatanan kehidupan yang semakin susah untuk diatur.
Kriminalitas menunjukkan grafik meningkat, korupsi belum ada tanda-tanda untuk sembuh, nyawa pun seperti tidak berharga. Kegundahan ini adalah milik bersama, milik bangsa, dan milik umat Islam seluruhnya. Kita tidak seharusnya bersusah payah menjustifikasi globalisasi sebagai kambing hitamnya. Kita pun tidak seharusnya mengepalkan tangan sebagai tanda melawan dengan munculnya beragam isme yang tidak mencerminkan keluhuran budi dan tidak menuhankan Tuhan (hlm. iii-iv).
Menurut Abu Azzam, mengalah dan berkonflik adalah usaha untuk mencari kebenaran. Jika bisa memilih, pilihan mengalah akan lebih baik daripada berkonflik. Karena berkonflik kadang memunculkan sisi nafsu. Nafsu dumeh, nafsu harga diri, godaan untuk mencari popularitas tidak jarang mewarnai konflik.
Contoh, dalam dunia pewayangan, Adipati Karna memilih untuk berkonflik dengan Arjuna guna memperebutkan tahta popularitas memanah. Arjuna yang awalnya enggan untuk meladeni pun terpancing egonya dan melayani tantangan Karna. Karna dan Arjuna sama-sama gengsi untuk mengejar prestisius kesatria panah. Padahal keduanya masih tergolong kakak-adik beda ayah. Akhirnya kemenangan pun diraih Arjuna dengan tipu daya oleh Guru Durna. Karna dan Arjuna, keduanya tidak ada yang memilih ngalah. Mereka memilih berkonflik untuk menyelesaikan masalah. Filsafat Jawa mengajak orang untuk mencari kebenaran, bukan popularitas (hlm. 14).
Orang yang lebih memilih mengalah daripada menciptakan pertikaian menandakan dalam dirinya bersemayam sifat andhap asor atau rendah hati. Abu Azzam menjelaskan, orang yang memiliki sikap andhap asor berarti mengerti etika, tata krama, tata laku, unggah-ungguh, dan bisa menerapkannya dalam tata pergaulan di masyarakat. Mulia sekali orang yang memegangi sikap andhap asor ini. Relasinya dengan bahasa agama adalah akhlakul karimah, akhlak yang terpuji. Dalam masyarakat tertentu, menihilkan sikap-sikap unggah-ungguh dipercaya dapat menyebabkan kualat (terkutuk). Mungkin terkutuknya karena miringnya penilaian masyarakat terhadap dirinya yang tidak andhap asor.
Sikap rendah hati bertujuan untuk menghormati dan menghargai sesamanya, sehingga berdampak pada harmonisnya kehidupan. Orang yang berperilaku luhur dalam tindakannya selalu diiringi kesadaran untuk mengendalikan dirinya. Perilaku luhur, andhap asor, bukanlah perilaku yang ditampilkan hanya di permukaannya saja, bukan basa-basi, tetapi benar-benar mrentul (muncul) dari kesadaran jiwanya. Maka sikap ini akan melahirkan sifat kejujuran, kasih sayang, tepa selira, tanggung jawab, mendahulukan kepentingan orang lain. Tindakannya jauh dari tendensi kepentingan pribadi. Seperti pepatah megatakan, sepi ing pamrih rame ing gawe, ikhlas. Semangat dalam bekerja dan tidak ada motif lain selain tuntutan jiwanya untuk berbuat kebajikan (hlm. 39).
Buku ini layak diapresiasi dan dapat menjadi salah satu sumber bacaan pembangun jiwa. Selamat membaca dan menemukan manfaatnya.
Baca Juga
-
Cara Menghadapi Ujian Hidup dalam Buku Jangan Jadi Manusia, Kucing Aja!
-
Ulasan Buku Sukses Meningkatkan Kualitas Diri, Panduan Praktis Meraih Impian
-
Ulasan Buku Jangan Mau Jadi Orang Rata-rata, Gunakan Masa Muda dengan Baik
-
Panduan Mengajar untuk Para Guru dalam Buku Kompetensi Guru
-
Ulasan Buku Sabar tanpa Batas, Memaknai Hidup dengan Bijaksana
Artikel Terkait
-
40 Siswa Madrasah Ditetapkan Sebagai Duta Moderasi Beragama
-
Ulasan Buku High Value Woman: Menjadi Perempuan Berprinsip dan Percaya Diri
-
Pendidikan dan Agama Jordi Onsu, Adik Ruben Sering Dikira Mualaf Beber Tak Makan Daging Babi
-
Apa Agama Kevin Diks? Pemain Berjenggot Keturunan Ambon Bermarga Bakarbessy Siap Lawan Jepang
-
Ulasan Buku Seri Mengenal Emosi: Malu, Mengajarkan Anak Mengatasi Rasa Malu
Ulasan
-
Ulasan Novel 'Ayah, Ini Arahnya Kemana, Ya', Buku yang Temani Kamu Lewati Masa Sulit
-
Emosional yang Begitu Sesak dalam Film Bila Esok Ibu Tiada
-
Ulasan Novel Happy Ending Machine: Ketika Mencintai Orang yang Salah
-
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam: Melawan Tradisi Kawin Tangkap
-
Menguak Sisi Gelap Masyarakat Elitis dalam Novel Ferris Wheel at Night
Terkini
-
Teka-teki Eliano Reijnders Dicoret STY dari Skuad, Ini Kata Erick Thohir
-
Pilihan Hidup Sendiri: Ketika Anak Muda Memutuskan Tidak Menikah, Salahkah?
-
Kesbangpol dan PD IPARI Karanganyar Gelar Pembinaan Kerukunan Umat Beragama untuk Meningkatkan Toleransi dan Harmoni
-
3 Rekomendasi Film Kolaborasi Memukau Ryan Gosling dan Emma Stone
-
Rekor Pertemuan Timnas Indonesia vs Arab Saudi, Garuda Belum Pernah Menang?