Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rozi Rista Aga Zidna
Buku Adab di Atas Ilmu (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Bagus, bahkan sangat bagus dan layak menjadi rujukan tentang pentingnya mendahulukan akhlak daripada ilmu pengetahuan lainnya. Itulah kesan pertama ketika saya membaca buku Adab di Atas Ilmu ini.

Buku ini tidak hanya bermanfaat bagi murid, namun juga memberi manfaat kepada guru. Hadirnya buku seperti ini laksana sumber mata air di tengah padang sahara. Sebab, belakangan ini banyak sekali orang yang menganggap remeh adab dan menomorsatukan ilmu pengetahuan daripada akhlak.

BACA JUGA: 4 Rekomendasi Novel tentang Kasih Tak Sampai, Nyesek Banget!

Karena, buat apa ilmu jika tidak bermanfaat? Kenapa ilmu yang didapat tidak mengandung kemanfaatan? Salah satu alasannya sebab ilmu yang didapat tanpa adanya adab. Ia memperoleh ilmu, namun tidak menghargai guru, tidak menghormati guru, kurang sopan kepada guru, membentak guru, melawannya dan sebagainya. Tidak hanya itu, namun ia juga tidak tahu tatakrama menghargai ilmu, adab membawa kitab, akhlak meletakkan kitab, dan lain semacamnya.

Oleh karena itu, hadirnya buku ini di zaman sekarang sangatlah tepat. Jadi, tidak layak jika kita abaikan kehadirannya.

Di bagian awal, buku ini dimulai dengan penguraian biografi Imam Nawawi selaku pengarang kitab Adab al-Alim wa al-Muta'allim wa Adab al-Mufti wa al-Mustafti yang telah diterjemahkan ke dalam buku ini. Hal ini penting taruh di awal sebelum pembahasan lain, agar para pembaca mengetahui bahwa buku yang sedang mereka baca adalah karya penulis yang luar biasa. Selian mendapat ilmu yang akan didapat dari membaca, dengan mengenal sejarah hidup penulis, pembaca juga bisa mengambil banyak teladan.

Membaca biografi Imam Nawawi di bagian awal buku ini, kita dapat mengenal bahwa Yahya bin Syaraf adalah namanya, An-Nawawi adalah desa kelahirannya, Ad-Dimasyqi adalah tempat tinggalnya, As-Syafi'i adalah mazhab fikihnya, Al-Asy'ari adalah mazhab akidahnya, dan Muhyiddin adalah gelar kehormatannya.

Berkenaan dengan etika guru dalam belajar, ada beberapa poin yang disebutkan dalam buku ini. Antara lain, dalam belajar, seorang guru harus mampu mengambil ilmu dari siapa pun. Artinya tidak memandang perbedaan umur, nasab, ketenaran, atau bahkan agama sekali pun.

Sementara etika guru dalam mengajar, salah satunya, yaitu mengajar harus diniatkan untuk mencari ridha Allah, tidak menghalangi siapapun untuk belajar, mendidik murid secara bertahap sesuai dengan kadar kemampuan murid, harus mencintai ilmu yang akan diajarkan, peduli terhadap keadaan murid-muridnya, dan lain sebagainya.

BACA JUGA: Meniru Semangat Belajar Tiga Ulama Nusantara yang Mempengaruhi Dunia

Sedangkan etika murid dalam belajar, antara lain: menyucikan hati dari hal-hal yang akan mengotori niatnya, harus menyingkirkan segala sesuatu yang mengganggu konsentrasi belajarnya, harus rendah hati terhadap ilmu yang dipelajari, harus melihat guru dengan tatapan kemuliaan, harus mencari keridhaan gurunya, tidak bisa sesuka hati masuk ke ruangan guru tanpa seizinnya, memasuki ruang majelis dengan mengucapkan salam, dan seterusnya.

Inilah adab ulama-ulama terdahulu yang lebih mendahulukan adab daripada ilmu. Semoga bermanfaat.

Rozi Rista Aga Zidna