Agaknya kita bersepakat bahwa dengan menjadi manusia modern adalah berarti siap berhadapan dengan beragam persoalan eksistensi. Mau atau tidak mau, kenyataan demikianlah yang tengah kita hadapi hari ini. Selain itu juga, hal itu turut mencakup pertanyaan-pertanyaan yang menyoal keberadaan kita selain sebagai individu, akan tetapi lebih dari itu adalah juga persoalan yang datang dari—kenyataan bahwa setiap individu merupakan bagian integral—sebuah komunitas. Sehingga gambaran itu cukup lah kompleks sebagai persoalan manusia modern hari-hari ini.
Terhubung dengan dua fakta itu, bukan kah persoalan demikian tidak jarang menggoda kita untuk melempar pertanyaan-pertanyaan eksistensial kepada diri sendiri? Seperti, apakah aku eksis? Apakah hari-hari yang aku jalani adalah bermakna? Apakah aku berguna bagi orang lain? Apakah aku cukup bagi orang lain?
Dan sederet pertanyaan lain yang sebetulnya teramat mudah membuat kita resah. Alih-alih, kita dapat menemukan jawaban yang melegakan dari semua pertanyaan itu, kita justru terjerembab dalam kemurungan dan berakhir pada kondisi repetitif untuk merutuki diri. Mula dari semua itu adalah cara pandang kita yang terlalu banyak menaruh fokus untuk memikirkan dunia di luar kita, orang lain atau seabrek standar yang menjadi ‘berhala’ dalam komunitas.
Ada kalanya kita membutuhkan semacam energi untuk membalik semua kemurungan yang lahir dari pertanyaan-pertanyaan negatif—yang sama sekali tidak memberdayakan itu. Untuk beralih kepada fokus lain dan cara memandang hidup yang lebih memiliki daya. Lewat cara itu kita bisa mengalihkan perhatian pada sumber kebahagian yang sebetulnya begitu dekat. Yakni kebahagiaan yang bersumber dari dalam diri sendiri. Sebagaimana kebanyakan orang Jepang yang menciptakan kebahagiaan ‘sejati’ mereka melalui Ikigai.
Alasan untuk hidup itu bernama Ikigai
Ken Mogi, Ph.D dalam bukunya The Book Of Ikigai: Make Life Worth Living, membeberkan arti dari istilah Ikigai secara gamblang—jauh dari penjelasan rumit sebagaimana yang dibicarakan orang-orang selama ini. Olehnya disebut, Ikigai sebagai sesuatu yang menjelaskan kesenangan dari makna kehidupan. Lebih lanjut, secara harfiah, Ikigai berarti alasan untuk hidup. Konsep itu tersusun dari “iki” (yang berarti untuk hidup) dan “gai” (yang berarti alasan).
BACA JUGA: Nikah Muda Pilih Urus Anak Tanpa Babysitter, Dahlia Poland Ungkap Alasannya: Aku Posesif
Pada praktiknya, Ikigai berlaku secara luwes dan sering diterapkan dalam hal-hal kecil pada keseharian hidup seseorang. Selain juga, itu menjadi mungkin untuk diterapkan dalam target dan prestasi besar yang hendak dicapai dalam hidup. Sehingga, dengan memiliki Ikigai, seorang bisa saja mencapai kesuksesan yang didambakannya.
Kendati begitu, dalam konsep ini tidak lah selalu berarti bahwa kesuksesan menjadi prasyarat seseorang untuk memiliki Ikigai. Dalam pengertian yang lebih cair, Ikigai menjadi konsep yang demokratis untuk merayakan keberagaman hidup, alih-alih mematok ukuran kesuksesan sebagai sesuatu capaian yang seragam. Menyimak Ikigai dalam pengertian ini seakan timbul kesan bahwa ia memiliki pendekatan yang moderat dan memerdekakan. Itu karena tiap individu bebas untuk menentukan dan ‘merancang’ akan seperti apa Ikigai (alasan hidup) versi milikya itu
Kunci kebahagiaan dalam menemukan gairah
Keluwesan dalam Ikigai juga memungkinkaan ia diekspresikan sebagai semangat menyambut kedatangan hari baru. Belum beranjak jauh dari pengertian semula, Ikigai juga dekat pengertiannya dengan motivasi dan gairah yang menggerakan seseorang untuk, misalnya, beranjak dari tempat tidurnya di pagi hari.
Dikisahkan oleh Ken Mogi tentang Ikigai yang dimiliki seorang bernama Fujita. Ia—Fujita—adalah seorang pedagang ikan tuna. Ada satu alasan yang menggerakan Fujita dan membuatnya bergairah untuk—memiliki etos kerja yang selalu diawalinya melalui ‘ritual’—terbangun di pagi buta. Bagi Fujita, tak ada kesenangan yang bermakna selain di pagi hari dapat memilih dan menemukan tuna-tuna terbaik bagi para calon pembelinya.
Alasan demikian itu yang memberangkatkan Fujita untuk menyambut setiap hari baru yang datang padanya dengan penuh gairah. Yah, betul! Itu lah kata kuncinya: menemukan gairah. Dan sebagaimana Fujita, kita memiliki kebebasan untuk menentukan alasan-alasan itu. Memilih giat semacam apa yang menjadikan kita bergairah dan merasakan setiap harinya adalah ‘hidup’.
BACA JUGA: Penampilan Yuni Shara Pakai Kimono Usai Mandi Bikin Mata Tak Kedip
Hanyut dalam giat kegemaran
Ikigai memungkinkan seseorang dapat hanyut dalam aktivitas yang sejak mula menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. Seorang psikolog Amerika kelahiran Hongaria, Mihaly Csikszentmihalyi, menggambarkan kondisi psikologis itu sebagai keadaan seseorang dalam flow. Kondisi mental flow itu lah yang menjadikan seseorang dengan Ikigai dapat hanyut dalam menciptakan kebahagiaan mereka sendiri melalui giat dan tugas harian yang mereka gemari.
Hingga seakan-akan, dalam keadaaan itu, makna kebahagiaan yang mereka temukan membuatnya mengesampingkan pengakuan dan imbalan dari orang lain. Agaknya, kita dapat menangkap gambaran gamblang mengenai hal semacam itu. Bukan kah itu adalah suatu kebalikan dari kenyataan hari-hari ini? Bahwa definisi bahagia adalah dapat menyulam ‘pakaian validasi’ dari banyak hal di luar kita—yang darinya kita kumpulkan dan seakan tidak pernah merasa cukup. Namun, konsep dalam Ikigai seakan menjungkirkan pandangan umum kita tentang makna kebahagiaan.
Apa yang ingin dikatakan di sini adalah Ikigai menempatkan pekerjaan kegemaran sebagai tujuan, hal itu menjadikannya sebagai gagasan hidup bahagia yang langgeng tanpa mendambakan kepuasan yang bersumber dari validasi eksternal. Ikigai menjadi semacam tawaran alternatif, ‘pintu belakang’ yang berkebalikan dengan arus utama hari ini. Mengalir, menjadikan pekerjaan sebagai tujuan dan merayakannya!
Agaknya percakapan mengenai cara atau alternatif merayakan hidup dan menemukan kebahagiaan—di tengah zaman yang setiap saat nilainya dapat bergeser dengan cepat—adalah topik yang selalu layak untuk digulirkan. Karena setiap kita tahu, terlepas dari seseorang hidup di zaman lampau atau zaman modern hari ini, tidak ada seorang pun dari mereka yang tidak layak untuk tidak merasakan kebahagiaan. Untuk itu, Ikigai menjadi satu dari sekian banyak jalan untuk merayakan kebahagiaan kehidupan ini. Semoga kebahagiaan itu ikut hadir lewat tulisan ini. Selamat berbahagia dengan Ikigai. Good luck!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Copywriter Is Dead: Sindirian dari Budiman Hakim untuk Calon Copywriter
-
3 Formula Copywriting yang Menawan untuk Tingkatkan Cuan
-
Humankind: Paradigma dan Realitas Baru Bahwa Manusia Pada Kodratnya Baik
-
Ulasan Buku Belajar Menulis ala Arswendo: Mengarang Itu Gampang!
-
Membaca Rendra: Refleksi Perjalanan Puisi dan Kehidupan 'Sang Burung Merak'
Artikel Terkait
-
Dian Sastrowardoyo Ternyata Pernah Sekolah Naik Angkot Hingga Makan di Warteg
-
Rahasia Kebahagiaan dalam Buku 'Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan'
-
Ulasan Buku 'Bukan Dunia yang Keras, Mungkin Kita lah yang Terlalu Lunak'
-
Ulasan Buku Berani Bahagia, Raih Kebahagiaan Lewat Nalar Psikologi Sosial
-
Ulasan Buku 'Days of Happiness', Merancang Hari-hari Bahagia dalam Hidup
Ulasan
-
Ulasan Novel 'Tari Bumi', Kehidupan Perempuan Bali di Tengah Tekanan Kasta
-
Belajar Percaya Diri Melalui Buku The Power of Confidence Karya Palupi
-
Hakikat Kebebasan, Novelet Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub
-
Ulasan Buku Struktur Cinta Yang Pudar, Melawan Kenangan yang Perih
-
Ulasan Buku Bucket List: Khayal-Khayal Dahulu, Keliling Dunia Kemudian
Terkini
-
BLak-blakan! Soyeon (G)I-DLE Sebut Eks Member dan Sindir HYBE di MAMA 2024
-
Dilibas Tottenham Hotspur 4-0, Era Keemasan Manchester City Telah Berakhir?
-
WayV Bertransformasi Jadi Bad Boy di Teaser MV Lagu Terbaru 'Frequency'
-
Berpisah dengan Ducati, Bos Pramac Sampaikan Pesan Kesan yang Positif
-
Jesse Eisenberg Resmi Jadi Sutradara Film Musikal Bergenre Komedi