Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Ragil Kristya Aji
Sampul buku 'Mengarang Itu Gampang' karya Arswendo (Ipusnas.com)

Apa yang kali pertama terlintas di benak Anda jika tiba-tiba seorang menyodorkan sebundel buku berisi pelajaran tentang mengarang? Agaknya saya cukup yakin bahwa bayangan pertama Anda tentang buku tersebut pastilah akan mengira di dalamnya berisi teori dan penjabaran yang rumit. Namun, hal itu tidak berlaku pada buku berjudul Mengarang Itu Gampang karya Arsewendo Atmowiloto.

Diterbitkan kali pertama oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2011, buku setebal 256 halaman itu akan menjadi suatu kejutan semenjak kali pertama Anda melihat sampulnya.

Bagaimana tidak? Sampul buku yang dipenuhi dengan karikatur penulisnya dengan ekspresi kelakar itu seakan mengesankan suatu ketidakseriusan, tetapi agaknya memang begitulah cara penulisnya akan mengatakan sesuatu: mengarang itu gampang, lho!

Kesan pertama ketika membaca lembar-lembar awal dalam buku ini saya langsung tertarik pada cara penyampaian pesan yang dipilih oleh Arswendo.

Alih-alih ia menulis dengan gaya narasi yang panjang dan paragraf demi paragraf yang rapat, justru ia menyajikan gagasan-gasannya melalui penyampaian yang unik.

Yakni dengan gaya seakan ia sedang bercakap-cakap. Ia melontarkan suatu pertanyaan, lantas dijawabnya pertanyaan tersebut. Sangat mengalir dan begitu nyaman untuk disimak.

Penyajian semacam ini menurut saya mudah dipahami dan langsung menyasar pada inti persoalan. Bahasa yang digunakan oleh penulisnya pun terbaca begitu segar dan masih terasa relevan untuk dibaca di hari-hari ini. 

Pada bab-bab selanjutnya, Arswendo lebih banyak bercerita tentang pengalamannya selama menggeluti dunia tulis menulis. Masih dengan gayanya yang suka menyisipkan humor di sana dan di sini, membuat pembaca selalu ketagihan untuk menyimak lembar demi lembar yang ditulis oleh Arsewendo.

Jika Anda mengira buku ini akan berisi istilah akademis yang susah dipahami, tebakan Anda sepertinya tidak tepat. Pada bagian ini kepiawaian Arsewendo perlu diacungi jempol, meski yang digunakannya adalah bahasa yang dekat dengan keseharian, justru hal demikian yang menjadikan materi yang ingin dibagikannya kepada pembaca menjadi mudah diterima.

Selain berbagi kisah tentang pengalamannya dalam menulis, tak luput pula ia juga bagikan bagaimana proses kreatif yang sering ia lakoni ketika berhadapan dalam giat menulis. Pada bagian ini saya cukup yakin bahwa para pembacanya akan menerima ide-ide segar setelah membaca pengungkapan dari ‘kaca mata’ Arswendo. 

Sebagai pembaca, saya dibuat takjub dengan kecerdikan Arswendo yang berhasil mengubah kata yang begitu nampak remeh temeh menjadi lebih berdaya. Tidak berlebihan dikatakan demikian karena ia sering menganalogikan proses kreatif menulis menjadi sesuatu yang didekatkannya dengan keseharian pembaca.

Anda akan segera menemukan bagaimana Arswendo menghubungkan proses menulis dengan martabak, tempe atau nasi goreng—yang kesemuanya digunakan oleh Arswendo sebagai ajakan yang kontemplatif.

Saya secara khusus menyukai bagian di mana Arswendo menganalogikan ide sebagai sesuatu yang serupa dengan ilham. Seseorang harus dalam posisi siap untuk menerima itu, tulisnya.

Buku ini menjadi semakin lengkap karena selain pada mulanya merangsang pembaca untuk berimajinasi, namun pada akhirnya Arswendo juga memberikan pedoman yang cukup teknis, yakni kiat-kiat dalam mengarang, menulis skenario dan laku.

Saya cukup yakin siapa pun yang membaca buku Arswendo akan dibuat ketagihan untuk mengikuti materi-materinya yang disajikan dengan apik itu. Jika Anda tengah mencari suatu bacaan tentang teknis mengarang atau menulis,  sungguh buku ini akan sayang jika Anda lewatkan. 

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Ragil Kristya Aji