Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sam Edy
Ilustrasi Buku 'Biografi Ranjau' (Dokumen pribadi Sam Edy)

Buku ‘Ranjau Biografi’ penting dibaca. Khususnya oleh para penulis biografi atau para wartawan yang biasa meliput sosok atau tokoh penting untuk dipublikasikan di media massa, maupun diterbitkan dalam bentuk buku.

Buku ini dapat dijadikan sebagai bekal yang bermanfaat bagi para penulis yang hendak menulis seorang tokoh penting. Karena di dalamnya diuraikan panjang lebar tentang hal-hal (ranjau) yang harus dihindari, sehingga kita tidak akan mengalami kekeliruan yang fatal dan dapat berdampak buruk bagi reputasi kita.   

Dalam buku ini, Pepih Nugraha yang adalah wartawan senior Kompas, memperkenalkan sederet ranjau yang harus dihindari dalam menulis sosok (feature) atau biografi. Sebagian besar dari ‘ranjau’ tersebut didasarkan dari pengalaman langsung Pepih dalam mengampu rubrik “Sosok” di harian Kompas. Tak hanya itu, Pepih juga menunjukkan cara merekonstruksi kepingan-kepingan data yang tercecer menjadi sebuah tulisan yang hidup di hati pembacanya.

Dalam meliput seorang tokoh, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah berusaha mengungkap fakta dengan akurat. Maka dibutuhkan wawancara atau sumber yang banyak, agar tulisan yang disajikan benar-benar berbobot, menarik, dan sesuai fakta.

Sayangnya, ada saja tokoh yang ketika diwawancarai ternyata melakukan kebohongan. Kebohongan narasumber menjadi ranjau yang harus selalu diwaspadai. “Berbohong tak hanya dilakukan jurnalis, narasumber juga...,” begitu kata Pepih Nugraha yang pernah merasakan dibohongi oleh narasumber. 

Sebagai seorang jurnalis, Pepih Nugraha didoktrin untuk selalu jujur dalam perkataan, perbuatan, maupun tulisan. Sayangnya, narasumber yang diwawancarainya tidak selalu jujur dengan ucapanya. Pepih kena getahnya karena kurang melakukan ricek dan verifikasi atas pengakuan narasumber yang dijadikannya sosok. Akibatnya fatal. Meski sosok orang itu sudah termuat di harian Kompas, dua tahun kemudian terbongarlah bahwa narasumber yang diwawancarainya dan dijadikan sosok itu telah melakukan kebohongan, tidak jujur atas ucapannya sendiri. Arsip elektronik harian Kompas sampai harus menerakan ralat pada tulisan Pepih tersebut (hlm. 2-3).

Selain harus berhati-hati dalam memilih tokoh yang akan diwawancarai, ranjau berikutnya yang harus kita hindari saat hendak menulis biografi atau sosok adalah: jangan terlalu dekat dengan politisi. 

Ranjau menulis biografi akibat kedekatan jurnalis dengan objek yang ditulisnya menyebabkan tulisan penuh puja-puji dan sanjungan setinggi langit. Selain itu, kemungkinan tidak ada sisi kritis dari tulisannya yang bermanfaat buat pembaca, kecuali hal-hal yang baik saja dari sisi sosok yang ditulis (hlm. 46).

Tentu masih banyak ranjau yang harus dihindari saat hendak menulis biografi atau sosok yang diungkap Pepih Nugraha dalam buku terbitan Bentang (2013) ini. Misalnya ranjau berupa sogokan. 

Jangan sampai seorang jurnalis berbohong saat menulis biografi seseorang. Misalnya, tokoh pejabat yang sebenarnya kinerjanya buruk dan terkenal korup tapi dituliskan kebalikannya, hanya gara-gara si penulis disogok dengan segepok uang oleh narasumber. Karenanya, tak heran bila ranjau berupa sogokan dari narasumber ini menjadi racun yang mematikan.      

Sam Edy