Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Ilustrasi buku Tiga Anak Badung (Ipusnas)

3 Anak Badung adalah judul novel bergenre humor karya dari Boim Lebon, yang memuat banyak pembelajaran hidup, terutama tentang hubungan antara orang tua dan anak.

Novel ini ditulis berdasarkan keresahan penulisnya, setelah beliau membaca banyak berita di harian surat kabar, tentang ibu kandung yang berubah kejam terhadap anak-anaknya sendiri.

Ada berita tentang pembunuhan anak yang dilakukan ibunya, bayi yang dibuang dalam kantong plastik dan ditemukan warga, dan berita-berita serupa. Mengapa seorang ibu bisa setega itu pada anak-anaknya, itulah yang coba diangkat oleh sang penulis.

Kisah berawal ketika seorang perempuan muda bernama BCL, kepanjangan dari Bunga Cinta Lebay atau sering disapa Mpok Bung, ingin membuang ketiga anaknya. Ia merasa tak sanggup lagi menghidupi anak-anaknya, hanya dari mengandalkan upah sebagai buruh cuci.

Mpok Bung juga sakit hati pada suami yang pergi begitu saja, justru setelah mereka memiliki tiga orang anak yang masih kecil-kecil.

Tekanan hidup, rasa putus asa, dan keinginan membalas dendam pada suami yang menelantarkan dirinya dan anak-anak, membuat Mpok Bung nekat membawa ketiga anaknya ke stasiun kereta.

Mpok Bung beralasan kepada ketiga anaknya, Rama dan Mola berusia 7 dan 6 tahun serta Reh usia 4 tahun, bahwa mereka akan pergi mencari Bapak.

Mpok Bung meminta anak-anaknya berpencar dengan dirinya, karena mereka tidak membeli tiket. Namun, saat kereta tujuan Yogya itu akan berangkat, Mpok Bung malah turun dari kereta.

Beruntung di Yogya Mola, Rama, dan Reh bertemu dengan Mas Kelik. Seniman Yogya ini yang kemudian menampung dan mengajarkan mereka bermusik. Ketiga anak yang berparas ganteng tersebut kemudian menjadi pengamen jalanan.

Sampai 10 tahun kemudian, ketiga anak yang sudah menginjak usia belasan tahun itu bermaksud mencari ibu mereka di Jakarta. Bagaimanapun, kerinduan akan hadirnya seorang ibu selalu mengusik perasaan mereka.

Usaha pencarian yang hanya berbekal foto nikah ukuran 2x3 cm milik ibunya, tentu saja menyulitkan mereka. Kesulitan bertambah dengan Reh yang tanpa sengaja terpisah dari kedua kakaknya. Seorang bandar narkoba yang menemukan Reh, lalu berniat memanfaatkan anak itu sebagai kurir narkoba.

Membaca cerita dalam novel keluaran Penerbit Indiva ini membuat saya termenung cukup lama. Saya berusaha memahami pergulatan batin yang dialami Mpok Bung.

Betapa sebagai orang tua, saya pun bisa merasakan keinginan Mpok Bung, yang berharap anak-anaknya mendapatkan kehidupan yang layak, walaupun caranya salah.

Meski kisah di dalam novel ini begitu miris, tapi karena berbalut komedi dengan humor-humor segar dan kekonyolan tingkah para tokohnya, membuat para pembaca, termasuk saya, bisa ikut menertawakan kisah-kisah pahit di dalamnya.

Semoga kalian seberuntung saya, bisa menemukan kesedihan yang dapat ditertawakan, seperti dalam novel ini.

Rie Kusuma