Siapa nih yang doyan makan bubur? Seperti yang kita tahu, bubur adalah salah satu makanan yang digemari oleh semua kalangan, dari orang dewasa hingga anak-anak.
Di Indonesia sendiri, ada banyak sekali olahan bubur yang menjadi ciri khas dari suatu daerah. Salah satunya adalah Tinutuan atau yang lebih banyak dikenal sebagai bubur Manado. Bubur yang satu ini sangat populer di kalangan masyarakat Sulawesi, khususnya Sulawesi Utara.
Tinutuan berasal dari kata Tu'tu yang dalam bahasa Minahasa berarti nasi. Sebagaimana namanya, bubur Manado terbuat dari nasi yang dicampur dengan berbagai sayuran. Nasi atau bisa juga menggunakan beras, dimasak dengan air. Setelah menjadi bubur lalu dicampur dengan serai, garam, dan gula.
Setelah itu bisa ditambahkan sayuran yang terdiri atas labu, jagung pipil, kemangi, kacang panjang, kangkung, dan daun gedi. Nah daun gedi inilah yang menjadi ciri khas dari bubur Manado karena hanya tumbuh di wilayah Manado.
Banyaknya ragam sayuran yang ada dalam bubur Manado menjadikan makanan ini kaya akan nutrisi. Kandungan nutrisi yang tinggi ini menjadikan bubur Manado sebagai makanan yang sehat. Bahkan bubur Manado juga dianggap sebagai menu yang cocok untuk dikonsumsi ketika sedang dalam keadaan diet.
Menurut sejarah yang dilansir dari kikomunal-indonesia, dulunya bubur ini merupakan santapan yang dikonsumsi oleh masyarakat sejak masa penjajahan Belanda. Kala itu, segala keterbatasan yang ada membuat masyarakat terpaksa hanya bisa mengumpulkan sayur mayur dan umbi-umbian di ladang untuk dikonsumsi bersama.
Bahan tersembut dicampur dengan sedikit beras secara asal dalam satu wadah. Meskipun terkesan terpaksa, namun ternyata rasanya enak dan digemari oleh masyarakat.
Hingga saat ini, bubur Manado masih menjadi hidangan yang populer dari generasi ke generasi. Bubur ini bisa menjadi hidangan yang pas menemani saat sarapan atau ketika cuaca sedang dingin. Disantap dalam keadaan hangat bersama ikan asin, ikan roa, dan dabu-dabu akan semakin nikmat. Gimana, kamu sudah pernah mencobanya?
Baca Juga
-
Ulasan Buku Timeboxing: Atur Waktu di Era Digital Biar Hidup Nggak Chaos
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat
-
Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
Artikel Terkait
-
Penjelasan BMKG Terkait Gempa Manado Kamis Pagi
-
Kamis Pagi, Gempa M 6,2 Guncang Manado, Tak Berpotensi Tsunami
-
Gelar Edukasi Berkendara, Tim Safety Riding Honda Sasar Pelajar SMA dan Setara
-
Umbar Keakraban dengan Andi Arsyil, Citra Kirana Ditegur: Kayak Lupa Punya Suami
-
Diperingati Setiap Tanggal 10 Oktober, Berikut 3 Fakta Unik Kuliner Bubur
Ulasan
-
7 Our Family: Luka Keluarga dari Sudut Anak Paling Terlupakan
-
Ahlan Singapore: Rebecca Klopper Terjebak di Antara Kiesha Alvaro dan Ibrahim Risyad
-
Ulasan Novel Timun Jelita: Bukti Mengejar Mimpi Nggak Ada Kata Terlambat!
-
Ulasan Novel The Mint Heart: Romansa Gemas Reporter dengan Fotografer Cuek
-
Review Novel Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Potret Realistis Kehidupan Mahasiswa Indonesia
Terkini
-
Dampak Jangka Panjang Bullying: Dari Depresi hingga PTSD pada Remaja
-
Cerita Ruangkan, Solusi dari Bayang-Bayang Burnout dalam Hustle Culture
-
Sinopsis dan Kontroversi Drama China Love dan Crown, Layakkah Ditonton?
-
5 Rekomendasi Drama China Misteri Baru 2025 untuk Temani Akhir Pekan
-
Indonesia di Mata Ji Chang Wook: Perjalanan Healing yang Penuh Makna