Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Athi S. R.
buku "How To Read A Book" (Meraih Kecerdasan) (dokumentasi penulis/Athi SR.)

Buku "How To Read A Book" karya Mortimer Adler dan Charles van Doren adalah karya monumental yang tidak hanya menyediakan panduan praktis tentang seni membaca, tetapi juga mendalam ke filosofi membaca yang berkualitas. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1940-an, buku ini telah menjadi rujukan utama bagi mereka yang ingin mengasah keterampilan membaca mereka. Di Indonesia, buku ini diterbitkan oleh Nuansa Cendekia, Bandung, dengan judul “Meraih Kecerdasan”.

Barangkali kebanyakan orang Indonesia akan mempertanyakan hal ini: mengapa membaca buku saja ada bukunya? Baca ya tinggal baca saja tidak perlu membaca buku cara membaca segala. Benar. Baca ya tinggal baca saja. Tapi, kebanyakan kita tidak membaca dengan benar, sehingga apa yang telah kita baca tidak menetap lama dalam pikiran. “Seorang pria atau wanita muda yang tidak dapat membaca dengan baik akan kesulitan untuk meraih impiannya,” kata penulis. (h. 41)

Buku ini amat laris di negara asalnya dan negara-negara pembaca buku lainnya. Para pembaca yang sudah memiliki kegemaran membaca rupanya merasa perlu panduan cara membaca yang lebih efektif. Poin sentral buku ini adalah perbedaan esensial antara membaca secara pasif dan aktif. Adler dan van Doren memandang membaca sebagai aktivitas kritis yang memerlukan tujuan tertentu dan pemahaman yang mendalam.

“Semakin aktif seseorang membaca, semakin baik. Dia lebih baik jika dia menuntut lebih banyak dari dirinya dan dari naskah yang ada di hadapannya,” kata penulis. (h. 19)

Mereka membagi teknik analisis yang membantu membaca dengan cara yang lebih kontekstual, memungkinkan pembaca menggali makna yang lebih dalam dari teks yang dibaca. Penulis menyebtnya sebagai tingkatan membaca. Tingkatan pertama adalah membaca tingkat dasar, yaitu tingkatan membaca yang kita pelajari di sekolah dasar.

Tingkatan kedua ada membaca secara cepat dan sistematis. Tingkatan membaca ini bertujuan memperoleh informasi sebanyak mungkin dalam waktu yang singkat atau terbatas. Biasanya terjadi saat kita membaca informasi di koran, atau ketika menilai sebuah buku dengan cara memindainya.

Tingkatan ketiga yaitu membaca secara analitis. Membaca dengan analitis berarti membaca dengan lebih keras dan berupaya untuk memahami betul isi sebuah buku. Pembaca juga harus mengajukan banyak pertanyaan saat membaca dengan analisis. “Membaca buku secara analitis adalah mengunyah dan mencernanya.” (h. 37)

Tingkatan terakhir dan teratas dari membaca ialah membaca secara sintopikal. Pembaca harus membaca beberapa sumber demi mendapatkan pemahaman dan analitis baru tentang sebuah subyek. Pembaca memang harus bekerja sangat keras, namun keuntungan membaca secara sintopikal paling besar dan memuaskan. (h. 38)

Buku ini bukan hanya tentang membaca dengan cerdas tetapi juga tentang bagaimana membaca jenis literatur yang berbeda dengan pendekatan yang sesuai. Penulis memberikan panduan yang sangat terperinci mngenai strategi membaca yang efektif untuk berbagai jenis teks, mulai dari karya fiksi hingga buku ilmiah yang rumit. Mereka mengajarkan pembaca untuk merespons secara dinamis terhadap kebutuhan bacaan mereka. (h. 235)

Selanjutnya, buku ini menyarankan pentingnya membaca secara kolaboratif. Kedua penulis percaya bahwa diskusi dan pertukaran ide dengan orang lain dapat meningkatkan pemahaman mendalam terhadp suatu karya. Pemikiran bersama ini memberi dimensi baru pada konsep membaca, menjadikannya pengalaman yang lebih interaktif dan dinamis.

Salah satu aspek menarik dari buku ini adalah penekanan pada pembentukan pertanyaan. Menurut penulis, membaca bukan hanya tentang menerima informasi, tetapi juga tentang menantang dan meresponsnya. Mereka mengajarkan keterampilan untuk merumuskan pertanyaan kritis yang membimbing proses membaca, membantu pembaca untuk menggali lebih dalam makna yang terkandung dalam teks. Penulis meminta kita untuk menjadi pembaca yang penuntut.

“Pembaca yang tidak penuntut tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan tidak memperoleh jawaban.” (h. 69)

Buku ini juga menggali konsep kecepatan membaca dengan pandangan yang kritis. Penulis mengingatkan bahwa kecepatan membaca bukanlah tujuan utama; sebaliknya, mereka menekankan pentingnya keseimbangan antara kecepatan dan pemahaman. Teknik-teknik yang dijelaskan di dalamnya memungkinkan pembaca untuk membaca lebih efisien tanpa kehilangan esensi.

Pada bagian akhir buku, penulis menyajikan ringkasan menyeluruh dari semua metode dan konsep yang mereka ajarkan. Ini memberikan pembaca panduan konkret dan praktis yang dapat diakses kembali sebagai referensi cepat setelah menyelesaikan buku.

Buku ini bukan hanya membimbing kita melalui teknik membaca yang lebih canggih, tetapi juga menggarisbawahi filosofi bahwa membaca adalah “keterlibatan aktif dengan ide dan konsep”. Bukan sekadar panduan praktis, buku ini adalah perjalanan intelektual yang mendalam dan memberdayakan bagi siapa saja yang ingin menggali lebih dalam dunia literasi dan pemahaman.

Saya berharap akan ada lebih banyak orang Indonesia yang tertarik membaca buku-buku seperti ini. Kita belum memiliki riwayat sebagai pembaca yang baik, bahkan untuk konten-konten ringan di media sosial. Sudah 2024, daripada menghabiskan waktu untuk hal yang tidak berguna, sebaiknya kita manfaatkan waktu kita untuk lebih banyak membaca dengan cara yang lebih efektif. Sudah saatnya kita menjadi negara pembaca buku juga seperti negara-negara maju lainnya.

Selamat membaca!

Data Buku

  • Judul: Meraih Kecerdasan
  • Penulis: Mortimer Adler & Charles van Doren
  • Penerjemah: Lala Herawati Dharma
  • Penerbit: Nuansa Cendekia, Bandung
  • Cetakan: I, Juli 2011
  • Tebal: 501 halaman

Athi S. R.